Sabtu, 30 April 2011

HUBUNGAN ANTARA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN KEBIJAKAN HUTANG LUAR NEGERI



I. PEMBANGUNAN NASIONAL

Pembangunan ekonomi merupakan tahapan proses yang mutlak dilakukan oleh suatu bangsa untuk dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat bangsa tersebut. Pembangunan ekonomi suatu negara tidak dapat hanya dilakukan dengan berbekal tekad yang membaja dari seluruh rakyatnya untuk membangun, tetapi lebih dari itu harus didukung pula oleh ketersediaan sumberdaya ekonomi, baik sumberdaya alam; sumberdaya manusia; dan sumberdaya modal, yang produktif. Dengan kata lain, tanpa adanya daya dukung yang cukup kuat dari sumberdaya ekonomi yang produktif, maka pembangunan ekonomi mustahil dapat dilaksanakan dengan baik dan memuaskan. Adapun kepemilikan terhadap sumberdaya ekonomi ini oleh negara-negara dunia ketiga tidaklah sama. Ada negara yang memiliki kelimpahan pada jenis sumberdaya ekonomi tertentu, ada pula yang kekurangan.
Pada banyak negara dunia ketiga, yang umumnya memiliki tingkat kesejahteraan rakyat yang relatif masih rendah, mempertinggi tingkat pertumbuhan ekonomi memang sangat mutlak diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi dari negara-negara industri maju. Oleh karena masih relatif lemahnya kemampuan partisipasi swasta domestik dalam pembangunan ekonomi, mengharuskan pemerintah untuk mengambil peran sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi nasional. Seolah-olah segala upaya dan strategi pembangunan difokuskan oleh pemerintah untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dari tahun ke tahun. Sehingga, seringkali hal tersebut dilakukan melebihi kemampuan dan daya dukung sumberdaya ekonomi di dalam negeri yang tersedia pada waktu itu. Akibatnya, pemerintah negara-negara tersebut harus mendatangkan sumberdaya ekonomi dari negara-negara lain untuk dapat memberikan dukungan yang cukup bagi pelaksanaan program pembangunan ekonomi nasionalnya. Dengan dukungan sumberdaya ekonomi dari luar negeri tersebut, maka bukanlah sesuatu yang mustahil, apabila di beberapa negara dunia ketiga atau negara yang sedang berkembang, laju pertumbuhan ekonomi dapat melebihi laju pertumbuhan ekonomi negara-negara industri maju.
Sumberdaya modal merupakan sumberdaya ekonomi yang paling sering didatangkan oleh pemerintah negara-negara sedang berkembang untuk mendukung pembangunan nasionalnya. Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan sumberdaya modal dalam negeri. Sumberdaya modal yang didatangkan dari luar negeri, yang umumnya dari negara-negara industri maju, ini wujudnya bisa beragam, seperti penanaman modal asing (direct invesment), berbagai bentuk investasi portofolio (portfolio invesment) dan pinjaman luar negeri. Dan, tidak semuanya diberikan sebagai bantuan yang sifatnya cuma-cuma (gratis), tetapi dengan berbagai konsekuensi baik yang bersifat komersial maupun politis.
Pada satu sisi, datangnya modal dari luar negeri tersebut dapat digunakan untuk mendukung program pembangunan nasional pemerintah, sehingga target pertumbuhan ekonomi nasional dan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat meningkat. Tetapi pada sisi lain, diterimanya modal asing tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah dalam jangka panjang, baik ekonomi maupun politik, bahkan pada beberapa negara-negara yang sedang berkembang menjadi beban yang seolah-olah tak terlepaskan, yang justru menyebabkan berkurangnya tingkat kesejahteraan rakyatnya.


II. UTANG LUAR NEGERI SEBAGAI SUMBER PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Tidak semua negara yang digolongkan dalam kelompok negara dunia ketiga, atau negara yang sedang berkembang, merupakan negara miskin, dalam arti tidak memiliki sumberdaya ekonomi. Banyak negara dunia ketiga yang justru memiliki kelimpahan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Masalahnya adalah kelimpahan sumberdaya alam tersebut masih bersifat potensial, artinya belum diambil dan didayagunakan secara optimal. Sedangkan sumberdaya manusianya yang besar, belum sepenuhnya dipersiapkan, dalam arti pendidikan dan ketrampilannya, untuk mampu menjadi pelaku pembangunan yang berkualitas dan berproduktivitas tinggi.
Pada kondisi yang seperti itu, maka sangatlah dibutuhkan adanya sumberdaya modal yang dapat digunakan sebagai katalisator pembangunan, agar pembangunan ekonomi dapat berjalan dengan lebih baik, lebih cepat, dan berkelanjutan. Dengan adanya sumberdaya modal, maka semua potensi kelimpahan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dimungkinkan untuk lebih didayagunakan dan dikembangkan.
Tetapi, pada banyak negara yang sedang berkembang, ketidaktersediaan sumberdaya modal seringkali menjadi kendala utama. Dalam beberapa hal, kendala tersebut disebabkan karena rendahnya tingkat pemobilisasian modal di dalam negeri. Beberapa penyebabnya antara lain (1) pendapatan per kapita penduduk yang umumnya relatif rendah, menyebabkan tingkat MPS (marginal propensity to save) rendah, dan pendapatan pemerintah dari sektor pajak, khususnya penghasilan, juga rendah. (2) Lemahnya sektor perbankan nasional menyebabkan dana masyarakat, yang memang terbatas itu, tidak dapat didayagunakan secara produktif dan efisien untuk menunjang pengembangan usaha yang produktif. (3) Kurang berkembangnya pasar modal, menyebabkan tingkat kapitalisasi pasar yang rendah, sehingga banyak perusahaan yang kesulitan mendapatkan tambahan dana murah dalam berekspansi. Dengan kondisi sumberdaya modal domestik yang sangat terbatas seperti itu, jelas tidak dapat diandalkan untuk mampu mendukung tingkat pertumbuhan output nasional yang tinggi seperti yang diharapkan.
Solusi yang dianggap bisa diandalkan untuk mengatasi kendala rendahnya mobilisasi modal domestik adalah dengan mendatangkan modal dari luar negeri, yang umumnya dalam bentuk hibah (grant), bantuan pembangunan (official development assistance), kredit ekspor, dan arus modal swasta, seperti bantuan bilateral dan multilateral; investasi swasta langsung (PMA); portfolio invesment; pinjaman bank dan pinjaman komersial lainnya; dan kredit perdagangan (ekspor/impor). Modal asing ini dapat diberikan baik kepada pemerintah maupun kepada pihak swasta.
Banyak pemerintah di negara dunia ketiga menginginkan untuk mendapatkan modal asing dalam menunjang pembangunan nasionalnya, tetapi tidak semua berhasil mendapatkannya, kalau pun berhasil jumlah yang didapat akan bervariasi tergantung pada beberapa faktor antara lain (ML. Jhingan : 1983, halaman 643-646):

• Ketersediaan dana dari negara kreditur yang umumnya adalah negara-negara industri maju.
• Daya serap negara penerima (debitur). Artinya, negara debitur akan mendapat bantuan modal asing sebanyak yang dapat digunakan untuk membiayai investasi yang bermanfaat. Daya serap mencakup kemampuan untuk merencanakan dan melaksanakan proyek-proyek pembangunan, mengubah struktur perekonomian, dan mengalokasikan kembali resources. Struktur perekonomian yang simultan dengan pendayagunaan kapasitas nasional yang ada akan menjadi landasan penting bagi daya serap suatu negara.
• Ketersediaan sumber daya alam dan sumberdaya manusia di negara penerima, karena tanpa ketersediaan yang cukup dari kedua sumberdaya tersebut dapat menghambat pemanfaatan modal asing secara efektif.
• Kemampuan negara penerima bantuan untuk membayar kembali (re-payment).
• Kemauan dan usaha negara penerima untuk membangun. Modal yang diterima dari luar negeri tidak dengan sendirinya memberikan hasil, kecuali jika disertai dengan usaha untuk memanfaatkan dengan benar oleh negara penerima. Sebagaimana dikatakan Nurkse (1961: 83), bahwa modal sebenarnya dibuat di dalam negeri. Sehingga, peranan modal asing sebenarnya adalah sebagai sarana efektif untuk memobilisasi keinginan suatu negara.

Sekarang ini dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia, termasuk dalam bidang finansial, menyebabkan arus modal asing semakin leluasa keluar masuk suatu negara. Pada banyak negara yang sedang berkembang, modal asing seolah-olah telah menjadi salah satu modal pembangunan yang diandalkan. Bahkan, beberapa negara saling berlomba untuk dapat menarik modal asing sebanyak-banyaknya dengan cara menyediakan berbagai fasilitas yang menguntungkan bagi para investor dan kreditur.
Khusus modal asing dalam bentuk pinjaman luar negeri kepada pemerintah, baik yang bersifat grant; soft loan ; maupun hard loan, telah mengisi sektor penerimaan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (government budget) yang selanjutnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan proyek-proyek pembangunan negara atau investasi pemerintah di sektor publik. Dengan mengingat bahwa peran pemerintah yang masih menjadi penggerak utama perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang, menyebabkan pemerintah membutuhkan banyak modal untuk membangun berbagai prasarana dan sarana, sayangnya kemampuan finansial yang dimiliki pemerintah masih terbatas atau kurang mendukung. Dengan demikian, maka pinjaman (utang) luar negeri pemerintah menjadi hal yang sangat berarti sebagai modal bagi pembiayaan pembangunan perekonomian nasional. Bahkan dapat dikatakan, bahwa utang luar negeri telah menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan perekonomian nasional yang cukup penting bagi sebagian besar negara yang sedang berkembang, termasuk indonesia

III. DAMPAK UTANG LUAR NEGERI TERHADAP PEMBANGUNAN NASIONAL

Setiap tindakan ekonomi pasti mengandung berbagai konsekuensi, begitu juga halnya dengan tindakan pemerintah dalam menarik pinjaman luar negeri. Dalam jangka pendek, pinjaman luar negeri dapat menutup defisit APBN, dan ini jauh lebih baik dibandingkan jika defisit APBN tersebut harus ditutup dengan pencetakan uang baru, sehingga memungkinkan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dengan dukungan modal yang relatif lebih besar, tanpa disertai efek peningkatan tingkat harga umum (inflationary effect) yang tinggi. Dengan demikian pemerintah dapat melakukan ekspansi fiskal untuk mempertinggi laju pertumbuhan ekonomi nasional. Meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi berarti meningkatnya pendapatan nasional, yang selanjutnya memungkinkan untuk meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat, apabila jumlah penduduk tidak meningkat lebih tinggi. Dengan meningkatnya perdapatan per kapita berarti meningkatnya kemakmuran masyarakat. Dalam jangka panjang, ternyata utang luar negeri dapat menimbulkan permasalahan ekonomi pada banyak negara debitur. Di samping beban ekonomi yang harus diterima rakyat pada saat pembayaran kembali, juga beban psikologis politis yang harus diterima oleh negara debitur akibat ketergantungannya dengan bantuan asing.
Sejak krisis dunia pada awal tahun 1980-an, masalah utang luar negeri banyak negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, semakin memburuk. Negara-negara tersebut semakin terjerumus dalam krisis utang luar negeri, walaupun ada kecenderungan bahwa telah terjadi perbaikan atau kemajuan perekonomian di negara-negara itu. Peningkatan pendapatan per kapita atau laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara-negara tersebut belum berarti bahwa pada negara-negara tersebut dengan sendirinya telah dapat dikatagorikan menjadi sebuah negara yang maju, dalam arti struktur ekonominya telah berubah menjadi struktur ekonomi industri dan perdagangan luar negerinya sudah mantap. Sebab pada kenyataannya, besar-kecilnya jumlah utang luar negeri yang dimiliki oleh banyak negara yang sedang berkembang lebih disebabkan oleh adanya defisit current account, kekurangan dana investasi pembangunan yang tidak dapat ditutup dengan sumber-sumber dana di dalam negeri, angka inflasi yang tinggi, dan ketidakefisienan struktural di dalam perekonomiannya.
Sehingga meskipun secara teknis, pemerintahan suatu negara telah sempurna dalam upaya pengendalian utang luar negerinya, pencapaian tujuan pembangunan akan sia-sia, kecuali bila negara tersebut secara finansial benar-benar kuat, yaitu pendapatan nasionalnya mampu memikul beban langsung yang berupa pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri dan bunganya (debt service) dalam bentuk uang kepada kreditur di luar negeri, karena utang luar negeri selalu disertai dengan kebutuhan devisa untuk melakukan pembayaran kembali. Pembayaran cicilan utang beserta bunganya merupakan pengeluaran devisa yang utama bagi banyak negara- negara debitur.
Beban utang luar negeri dapat diukur salah satunya dengan melihat proporsi penerimaan devisa pada current account yang berasal dari ekpor yang diserap oleh seluruh debt service yang berupa bunga dan cicilan utang. Jika rasio antara penerimaan ekspor dan debt service menjadi semakin kecil, atau debt service ratio (jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang di bagi dengan jumlah penerimaan ekspor) semakin besar, maka beban utang luar negeri semakin berat dan serius. Namun, makna dari besarnya angka DSR ini tidak mutlak demikian, sebab ada negara yang DSR-nya 40%, tetapi relatif tidak menemui kesulitan dalam perekonomian nasionalnya. Sebaliknya, bisa terjadi suatu negara dengan DSR yang hanya sebesar kurang dari 10% menghadapi kesulitan yang cukup serius dalam perekonomiannya. Selama ada keyakinan dari negara kreditur (investor) bahwa telah terjadi perkembangan ekonomi yang baik di negara debiturnya, maka pembayaran kembali pinjaman diprediksikan akan dapat diselesaikan dengan baik oleh negara debitur.

DAFTAR PUSTAKA

• George, Susan, (1992). The Debt Boomerang, New Jersey: Westview Press.

• Jhingan, M.L., (1983). The Economic of Development and Planning,16th Edition, New Delhi: Vicas Publishing House, Ltd.

• Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999, Bank Indonesia, 2000.
• Rostow, W.W., (1985). Pioneers in Development, Washington, D.C.: The World Bank. Salvatore, Dominick, (1996), International Economics, 5th Edition, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

• Tambunan, Tulus T.H., (1996). Perekonomian Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.

• Adwin Surya Atmadja Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi  Universitas Kristen Petra

Rabu, 23 Maret 2011

Septa Nuril Fahmi (29210173) “ PEREKONOMIAN INDONESIA ”
Prastian Bayang Yanuar. ( )
1EB15


PROVINSI PAPUA

A. SEJARAH PEREKONOMIAN PROVINSI PAPUA
Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan, yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus. Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat yang dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam perekonomian seluas-luasnya. Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. Pemberian kesempatan berusaha Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat.
Dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua (dan provinsi-provinsi hasil pemekarannya) mendapat bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam sebagai berikut:
1. Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen)
2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen)
3. Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen)
4. Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
5. Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
6. Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen)
7. Pertambangan minyak bumi 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen)
8. Pertambangan gas alam 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen).
Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan Pertambangan minyak bumi dan gas alam dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi
B. TENTANG PAD PROVINSI PAPUA
Sumber pendapatan daerah terdiri atas:
1. pendapatan asli daerah ( PAD), yang meliputi: (a) hasil pajak daerah; (b) hasil retribusi daerah; (c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan (d) lain-lain PAD yang sah;
2. dana perimbangan yang meliputi: (a). Dana Bagi Hasil; (b). Dana Alokasi Umum; dan (c). Dana Alokasi Khusus; dan
3. lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama Pemerintah pusat setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal pada suatu Badan Usaha Milik Pemerintah dan/atau milik swasta. Pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundangundangan.
Anggaran pendapatan dan belanja daerah ( APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama. Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.
Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas daerah yang dikelola oleh Bendahara Umum Daerah. Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan Perda yang berpedoman pada peraturan pemerintah.
C. HAMBATAN PEMBANGUNAN DAERAH

Kendala yang dihadapi oleh pemerintah provinsi papua adalah sebagai berikut :
• Kendala yang paling signifikan adalah kendala dualism system penyelenggaraan pemerintah di propinsi yaitu UU/21/2001 tentang otonomi khusus papua dan UU/32/2004 tentang pemerintah daerah. Agenda menata kembali pemerintah daerah dengan langkah strategis utamanya yaitu reformasi birokrasi terkait dengan issu penyelesaian implementasi otonomi khusus papua secara tuntas dan menyeluruh.
• Kemiskinan yang melanda dimana-mana dan kelaparan yang begitu besar dan luas. Respek memiliki nilai strategis dalam rangka penanggulangan kemiskian di wilayah perdesaan , namun terkendala oleh lemahnya koordinasi dalam mengkawal kebijakan respek tersebut pada level kabupaten, distrik dan kampung. Respim dihadapkan pada kendala geografys, iklim, administratif wilayah dan pendanaan sehingga programnya dilaksanakan sesuai simpul-simpul wilayah sedangkan sistem jaringan terpadu memerlukan waku dan fokus perhatian.
• Dalam segi keamanan, tindakan criminal di daerah papua masih sangatlah tinggi sehingga pemerintah khawatir akan pembangunan di daerah tersebut.
• Dari segi geografis, daerah papua sulit untuk di jangkau langkanya transportasi dan daerah yang curam menyebabkan pembangunan sulit dilakukan.
• Dari segi pendidikan, daerah papua masih jauh ketinggalan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, dimungkinkan adnya factor kepribadian yang masih terikat dengan kebudayaan.



D. PRODUK YANG MENJADI ANDALAN

• Sektor Perikanan
Mengingat besarnya potensi lestari sumberdaya ikan di Provinsi Papua, maka sektor kelautan dan perikanan merupakan andalan yang mempunyai kekuatan besar dan peluang untuk terus dikembangkan, sehingga pada akhirnya diharapkan aktivitas ekonomi dalam rangka produksi dan pemasaran produk perikanan didaerah Kawasan Timur Indonesia ini dapat menjadi salah satu sumber untuk dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Provinsi Papua. Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Papua, Ir. Astiler Maharadja, pihaknya terus berupaya untuk menggenjot peningkatan PAD Papua melalui sektor perikanan karena sumber daya perikanan Papua memiliki kekuatan besar dan peluang untuk terus dikembangkan. Ia menjelaskan sampai akhir tahun 2010 saja, nilai pemanfaatan lahan usaha budidaya walaupun meningkat namun pertumbuhannya masih tergolong rendah, dimana untuk potensi budidaya air tawar yang mencapai 178.786 hektar tapi baru dimanfaatkan sebesar 1.163 Ha (0,65%). Kemudian potensi budidaya payau yang mencapai 42.000 Ha, baru dimanfaatkan sebasar 495,1 Ha (1,17%) sementara potensi budidaya laut yang mencapai 256.800 hektar baru dapat dimanfaatkan sebesar 47,1 Ha (0.18%).

• Kembangkan Budidaya Rumput Laut
Dalam rangka mendukung program Rencana Strategis Pembangunan Kampung (Respek) yang dicanangkan Gubernur Papua, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Papua melakukan program pembudidayaan rumput laut diwilayah pesisir. Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Papua, Ir. Astiler Maharadja, pada tahun 2010 lalu, instansinya telah menganggarkan dana senilai 1.956.200.000 untuk pembudidayaan rumput laut di Kabupaten Biak Numfor, Supiori, Kepulauan Yapen dan Nabire. Hasil dari program yang dijalankan tersebut, antara lain terlaksananya kegiatan pengembangan budidaya rumput laut di Kabupaten Biak dan Supiori serta meningkatnya produksi dan pendapatan pembudidaya rumput laut.

• Sumber daya mineral
Potensi sumberdaya mineral dan energi di Provinsi Papua telah dikenal luas oleh masyarakat international sebelum perang dunia kedua. Pada awalnya minyak bumi merupakan komoditas yang paling menarik untuk dieksploitasi. Seorang geologist yang bernama J.J Dozy dalam ekspedisinya pada tahun 1936 Pegunungan Tengah dalam upaya pencarian minyak bumi, menemukan sebuah bukit berbentuk seperti gigi setinggi 131 yang kaya akan unsur tembaga. Kemudian ia mengambil sampel untuk di kirim ke Universitas Leiden di Belanda. J.J Dozy menamakan bukit tersebut Erstberg yang artinya Gunung Bijih. Pada tahun 1960 publikasi J.J Dozy tersebut dibaca oleh Fobes Wilson dari Freeport Sulphur Co dan menindaklanjutinya dengan meninjau bukit tersebut. la. Kemudian berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, maka pada tanggal 7 April 1967 ditandatanganilah Perjanjian Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran Inc. Freeport mempunyai hak ekslusif untuk mengelola daerah konsensi 10 x 10 Km2 atau seluas 100 km2 di sekitar Ertsberg. Sejak saat itulah pertambangan modern dimulai di Provinsi Papua.
• Pertambangan
Sampai dengan akhir tahun 1999 di Provinsi Papua tercatat sebanyak 24 Wilayah Kontrak Karya (KK) dan 3 Wilayah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) serta 4 Wilayah Kuasa Pertambangan (KP). Berhubung krisis multi dimensi yang terjadi secara nasional, tampaknya mempengaruhi pertumbuhan iklim investasi pertambangan umum di Provinsi Papua. Kondisi bahkan menyebabkan investasi pertambangan umum hingga tahun 2000 terhenti. Pada tahun 2001 sebanyak 17 wilayah KK dan KP masih tersisa dalam tahap penyelidikan umum/ eksplorasi dengan status suspensi (penundaan kegiatan sementara) dan 1 perusahaan eksploitasi ( PT. Freeport Indonesia ).
• Hasil hutan
Jenis-jenis hasil hutan kayu yang dimanfaatkan dikelompokkan; Kelompok Meranti terdiri dari; Matoa (Pometia spp.), Merbau (Instia spp.), Mersawa (Anisoptera spp.), Kenari (Canarium spp.), Nyatoh (Palaquium spp.), Resak (Vatica spp.), Pulai (Alstonia spp.), Damar (Agathis spp.), Araucaria (Araucaria spp.), Kapur (Dryobalanops spp.), Batu (Shorea spp.), Mangga hutan (Mangifera spp.), Celthis (Celthis spp.), dan Kayu Cina (Podocarpus spp.). Kelompok Kayu Campuran terdiri dari; Ketapang, Binuang, Bintangur, Terentang, Bipa, Kayu Bugis, Cempaka, Pala hutan. Kelompok Kayu Indah terdiri dari jenis; Dahu (Dracontomelon spp.), Linggua (Pterocarpus spp.), dan Kuku. Potensi kayu ini sudah dimanfaatkan/diusahakan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan industri pengolahan kayu.

• Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembangunan
Ada beberapa faktor yang memengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, namun pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor ekonomi yang memengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan. Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat memengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi). Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada. Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber .

E. Profil gubernur dan wakil gubernur
Barnabas Suebu, SH
Tempat/Tgl Lahir : Sentani, 29 April 1946
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Beringin B/01 Perumnas II Waena RT/ RW 002/05 Kelurahan Yabansai Abepura,
Kota Jayapura - Papua
No. Telp. : a. Rumah : (0967) 573284
b. Kantor : (021) 7388n5347
c. HP : 0815 1832303
Agama : Kristen Protestan
Status Pernikahan : Menikah
Nama Istri : Maryam S. Tokoro
Jumlah Anak : 6 (enam) orang
Nama Ayah : Bonifasius Suebu
Nama Ibu : Salomi Monim
Riwayat Pendidikan :
1. Sarjana Muda Hukum Universitas Cendrawasih, tahun 1976 (ijazah)
2. Sarjana Hukum, Universitas Cendrawasih, tahun 1988 (ijazah)
3. LEMHANAS, Kursus Reguler Angkatan XVII, tahun 1984 (ijazah)
Pengalaman Organisasi :
1. Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Cendrawasih 1972-1975
2. Ketua DPD KNPI Provinsi Irian Jaya, 1974-1975
3. Ketua Umum KADIN Provinsi Dati I Irian Jaya, 1981-1987
4. Ketua DPD GOLKAR Provinsi Dati I Irian Jaya, 1983-1988
5. Ketua Dewan Pertimbangan GOLKAR Provinsi Dati I Irian Jaya, 1986-1993
6. Ketua Umum KONI Provinsi Irian Jaya, 1983-1988
7. Anggota Dewan Pembina KADIN Indonesia, 1994-1999
Pengalaman Pekerjaan :
1. Pengamat cuaca pada Badan Meteorologi dan Geofisika Provinsi Irian Jaya 1962-1970
2. Anggota DPRD Provinsi Dati I Irian Jaya, 1977-1982
3. Ketua DPRD Provinsi Dati I Irian Jaya, 1982-1987
4. Ketua DPRD Provinsi Dati I Irian Jaya, 1987-1988
5. Gubernur Kepala Daerah Provinsi Dati I Irian Jaya, 1988-1993
6. Anggota Tim Penasehat Menristek/Ketua BPPT/Ketua BPIS, Selaku Ketua Harian Dewan Pengembangan Kawasan Timur
7. Anggota Badan Pertimbangan Pendidian Nasional (BPPN), 1990-1998
8. Anggota Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), 1994-1999
9. Anggota MPR, 1997-2002
10. Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Mexico , Honduras dan Panama 1999-2002
11. Anggota Dewan Penyantun dari United Board for Christian Higher Education in Asia , 2004- Sekarang


Alex Hesegem, SE
Tempat/Tgl Lahir : Wamena, 14 Juli 1957
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kompleks Perumahan Kotaraja Grand No. B.35
Distrik Jayapura Selatan, Kotamadya Jayapura
Provinsi Papua
Agama : Kristen Protestan
Status Pernikahan : Menikah
Nama Istri : Amelia Infandi
Tempat/Tgl Lahir : Biak, 9 April 1965
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Anak-Anak : 1. Elsye Hesegem (Jayapura, 8 April 1983)
2. Samuel M. Hesegem (Jayapura,26 Februari 1986)
3. Margaretha E. Hesegem (Jayapura, 6 July 1987)


Riwayat Pendidikan :
1. SD YPK Paulus Dok V Jayapura (1973)
2. SMP YPK Paulus Dok V Jayapura (1976)
3. SMA Gabungan Dok V Jayapura (1976 - 1978)
4. KPAA Negeri Jayapura (1981)
5. Akademi Pimpinan Perusahaan Ottuw Geissler Jayapura (1982 - 1986)
6. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (1994 - 2000)
7. Fakultas Ekonomi Universitas Wiraswasta Indonesia Jakarta (2003)
8. Kursus P4 dan Latihan Kepemimpinan Pemuda Tingkat Nasional dii Jakarta (1982)
9. Pendidikan dan Latihan LSSTPLJ di Jayapura (1986)
Pengalaman Organisasi :
1. Tahun 1982 ketua Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup DPD KNPI Provinsi Irian Jaya.
2. Tahun 1987 Wakil Sekretaris DPD KNPI Provinsi Irian Jaya
3. Tahun 1983 Ketua Biro Seni Budaya DPD AMPI Provinsi Irian Jaya
4. Tahun 1984 Sekretaris DPD KOSGORO Daerah Tingkat II Jayapura
5. Tahun 1989 Wakil Ketua DPD AMPI Provinsi Irian Jaya
6. Tahun 1994 sampai sekarang Sekretaris Dewan Penasehat Seni Budaya DPD AMPI Provinsi Irian Jaya
7. Tahun 1993 Ketua Biro Kerohanian DPD Golkar Prvinsi Irian Jaya
8. Tahun 1997 Wakil Sekretaris DPD Golkar Provinsi Irian Jaya
9. Tahun 1999 sampai 2001 Sekretaris Fraksi Utusan Daerah MPR RI persiapan di Jakarta
10. Tahun 2000 Diangkat Sebagai Ketua Panitia Seminar Nasional di tingkat MPR RI dengan Thema "Negara Kesatuan Versus Negara"
11. Tahun 2003 diangkat sebagai Anggota Kelompok Kerja Bidang Perhubungan, Kimpraswil, Pertambangan dan Sumber Daya Mineral pada DPP Partai Golkar di Jakarta
12. Tahun 2005 Diangkat sebagai Anggota Kelompok kerja Bidang Perikanan dan Kehutanan pada DPP Partai Golkar di Jakarta
Pengalaman Pekerjaan :
1. Tahun 1974 di angkat sebagai pegawai honorer pada Biro Umum SekwildaTingkat I Irian Jaya
2. Tahun 1982 di angkat sebagai calon pegawai Negeri Sipil di lingkungan Biro Umum Setwilda TK I Irian Jaya
3. Tahun 1986 di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan sekretariat DPRD Provinsi Irian Jaya
4. Tahun 1983 di angkat sebagai Tenaga Penatar P4 Tingkat Provinsi
5. Tahun 1997 di angkat menjadi Anggota DPRD Provinsi Irian Jaya
6. Tahun 1999 di angkat menjadi Anggota MPR RI Utusan Daerah Irian Jaya
7. Tahun 2001 di angkat menjadi Anggota DPR RI Pengganti antar waktu dari Daerah Pemilihan Jayawijaya

* Sumber
1. www.papua.go.id
2. www.wikipedia.com
3. www.google.com

Senin, 28 Februari 2011

PERKEMBANGAN USAHA BESAR, KECIL & KOPERASI
JUDUL Konglomerasi dan Kosentrasi Usaha : LATAR BELAKANG HISTORIS

Konsentrasi kekuatan ekonomi semakin meningkat di berabagai sector industry dan bidang usaha, sehingga pasarnya pun kian mengarah ke struktur yang oligopolistic atau monopolistic dan bersifat enclave. Untuk lebih memahami karakteristik mereka, ada baiknya untuk sekilas memnatap permasalahannya dari tinjauan ekonomi politik. Sepanjang sejarah industrialisasi Indonesia, pemerintah senantiasa menjalankan peran dominan. Bedanya adalah pada sifat keterlibatannya. Hingga akhir kemakmuran minyak (oil boom), peranan pemerintah lebih menonjol sebagai actor yang sangat aktif, yakni langsung terlibat di dalam pembangunan proyek-proye industry besar, seperti pupuk, semen dan baja. Peraan swasta masih relative terbatas. Kebanyakan mereka mulai memupuk kekuatan dengan mengandalkan kedekatan dengan birokrasi dan elite politik untuk mendapatka tender-tender khusus bagi pengadaan proyek-proyek pemerintah. Kegiatan-kegiatan swasta praktis bersifat . karena itu perkembangan swasta sangat di pengaruhi oleh anggaran Negara. Sedangkan kegiatan-kegiatan produksi (sector riil) boleh dikatakan sangat tersebar.
Kelompok ekonomi yang selama kurun waktu itu ana mengandalkan, atau paling tidak sangat ditopang oleh fasilitas Negara. Merekalah yang oleh Yahya Muhaimin disebut sebagai kelompok pengusaha klien (client businessman). Meskipun tidak secara eksplisit memakai teori Negara Otoriter Birokratik (NOB), yahya juga menyebutkan secara tegas bahwa Indonesia merupakan NOB RENTE. Lebih lanjut dikemukakan bahwa fasilitas yang disediakan oleh Negara selanjutnya di perjualbelikan untuk memperkaya para oknum pejabat. Bagi pengusaha klien, cara ini amat menguntungkan, namun disini tidak muncul dorongan yang berarti bagi para pengusaha untuk memperkukuh diri secara ekonomis dalam pengertian yang sesungguhnya, hal ini juga akan terjadi pada sector industry.
Proses industrialisasi yang berlangsung di Indonesia pada awalnya amt tergantung proyek-proyek pemerintah khususnya proyek-proyek PERTAMINA. Oleh karena itu, begitu peranan minyak merosot karena harga terpukul oleh resesi di awal 1980-an, sehingga kekuatan da n kiprah PERTAMINA meroosot, proses industrialisai Indonesia juga mengalami kemrosotan. Kelangkaan dan ini tidak memungkinkan dilanjutkannya strategi Industry Substitusi Impor (ISI), dan sejak saat itu.berbagai tekanan menuju strategi industrialisasi eksport kian menguat. Konsekuensinya, pemerintah harus memperkokoh stabilitas politik. Indicator mencolok atas upaya pemerintah ini terlihat pada pencanangan asa tunggal yang akhirnya berhasil diselesaikan pada tahun 1986. Setelah itu kebijakan pemerintah yang tidak terarah membuat sector industry sulit di tebak arahnya.
Perubahan menuju industrialisasi promosi ekspor menandai terjadinya pergeseran pengaruh di kalangan pemerintah di bidang ekonomi. Kebijakan ekonomi kambali di pengaruhi oleh teknorat-ekonom berhaluan liberal yang berpusat di BAPPENAS, setelah sebelumnya, yakni sejak pertengahan decade 1970-an, perekonomian Indonesia khususnya industrialisasi, diarahkan oleh teknorat nasionalis di departemen perindustrian (antara lalin Dirjen Suhartoyo dan menteri A.R soehoed).
Liberalisasi perekonomian ini ditopang oleh rekomendasi BANK DUNIA. Meskipun demoikian, hal ini tidaklah berarti bahwa keputusan-keputusan ekonomi kemudian diserahkan kepada pihak swasta ataupun pasar. Pemerintah tetap menguasainya. Agaknya yang tengah berlangsung adalah upaya untuk mengubah bentuk NOB Rente menjadi NOB Pembangunan. Ini antara lain terlontarnya gagasan ‘’ Indonesia incorporated ’’ . Gagasan diharapkan membawa industrialisasi menjadi semakin lancer, akan tetapi semua itu tergantuing proses dan waktu untuk menyatakan berhasil atau tidaknya. Di gelombang liberalisasi dalam tubuh birokrasi sendiri, warna teknorasi mulai pudardigantikan oleh para birokrat yang berjiwa wiraswasta. Sehingga diantara dua kubu yang sama-sama berada dalam tubuh birokrasi sering terjadi bentrokan. Sering terjadinya bentrokan tersebut acapkali sering di manfaatkan olehkelompok-elompok bisnis lain yang mempunyai back di tubuh birokrasi. Hal inilah yang menjadi kebijakn, peraturan dan program ekonomi tidak konsisten di Indonesia.
Memudarnya teknokrasi atas birokrasi Indonesia merupakan topic besar yang layak diteliti secara khusus dan mendalam kaitannya dengan struktur industry. Nmaun disini secara tentative bias di kemukakan bahwa pudarnya warna teknokrasi itu dikarenakan urgensi keberadaan para teknokrat dirasakan (oleh penguasa) telah menurun. Artinya, arti penting mereka dirasakan tidak sebesar saat-saat sebelumnya. Legitimasu orde baru mutlak telah diperoleh, baik secara domestic maupun internasional. Indonesia pun mulai disebut-sebut sebagai calon Negara industribaru. Dengan semua itu, jiwa-jiwa wiraswasta mulai bias menyalurkan jiwa wiraswastanya ke dunia bisnis.
Untuk urusan-urusan eksternal, seperti IGGI (tidak ada), CGI, BANK DUNIA,ABD dan IMF, peranan kelompok teknikrat memang belum tergantikan. Namun untuk pengelolaan ekonomi sehari-hari, kelompok usaha lebih banyak kesempatan untuk di beri tempat. Sesuai dengan karakter dunia bisnis yang oportunistik, maka gerak mereka pun berubah-ubah dan terkadang tidaksesuai dengan nalar makroekonomi. Mungkin disinilah letak kebenaran pnadapat Kwik Kian Gie, bahwa ekonomi Indonesia sulit ditebak karena memang tidak dijalankan secara sistematis dan menuruti logika-logika makroekonomi.
Kenyataan ini juga sesuai dengan ramalan Mancur Olson, yang mengemukakan bahwa dalam kondisi ekonoi yang ‘’stabil’’,koalisi-koalisi distribusional aka berkembang biak dan semakin merajalela. Pada gilirannya, perkembanga demikianlah yang merupaka salah satu factor penyebab rapuhnya perekonomian Indonesia, baik terhadap gejolak eksternal maupun gejolak social dalam negeri. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan upaya meningkatka social-ekonomi yang merupakan kunci bagi penguatan competitive advantage of nation dalam menghadapi persaingan dunia yang semakin ketat di pasar internasional. Seperti GATT,APEC, NAFTA, AFTA dan sebagainya, maka diperlukan kesungguhan untuk mengeliminasikan sumber-sumber piuh yang ada dipasar dalam negeri dan meningkatkan keandalan factor-faktor produksi didalam perekonomian nasional.
• SUMBER
1. Faisal Basri, Perekonomian Idonesia