Senin, 28 Februari 2011

PERKEMBANGAN USAHA BESAR, KECIL & KOPERASI
JUDUL Konglomerasi dan Kosentrasi Usaha : LATAR BELAKANG HISTORIS

Konsentrasi kekuatan ekonomi semakin meningkat di berabagai sector industry dan bidang usaha, sehingga pasarnya pun kian mengarah ke struktur yang oligopolistic atau monopolistic dan bersifat enclave. Untuk lebih memahami karakteristik mereka, ada baiknya untuk sekilas memnatap permasalahannya dari tinjauan ekonomi politik. Sepanjang sejarah industrialisasi Indonesia, pemerintah senantiasa menjalankan peran dominan. Bedanya adalah pada sifat keterlibatannya. Hingga akhir kemakmuran minyak (oil boom), peranan pemerintah lebih menonjol sebagai actor yang sangat aktif, yakni langsung terlibat di dalam pembangunan proyek-proye industry besar, seperti pupuk, semen dan baja. Peraan swasta masih relative terbatas. Kebanyakan mereka mulai memupuk kekuatan dengan mengandalkan kedekatan dengan birokrasi dan elite politik untuk mendapatka tender-tender khusus bagi pengadaan proyek-proyek pemerintah. Kegiatan-kegiatan swasta praktis bersifat . karena itu perkembangan swasta sangat di pengaruhi oleh anggaran Negara. Sedangkan kegiatan-kegiatan produksi (sector riil) boleh dikatakan sangat tersebar.
Kelompok ekonomi yang selama kurun waktu itu ana mengandalkan, atau paling tidak sangat ditopang oleh fasilitas Negara. Merekalah yang oleh Yahya Muhaimin disebut sebagai kelompok pengusaha klien (client businessman). Meskipun tidak secara eksplisit memakai teori Negara Otoriter Birokratik (NOB), yahya juga menyebutkan secara tegas bahwa Indonesia merupakan NOB RENTE. Lebih lanjut dikemukakan bahwa fasilitas yang disediakan oleh Negara selanjutnya di perjualbelikan untuk memperkaya para oknum pejabat. Bagi pengusaha klien, cara ini amat menguntungkan, namun disini tidak muncul dorongan yang berarti bagi para pengusaha untuk memperkukuh diri secara ekonomis dalam pengertian yang sesungguhnya, hal ini juga akan terjadi pada sector industry.
Proses industrialisasi yang berlangsung di Indonesia pada awalnya amt tergantung proyek-proyek pemerintah khususnya proyek-proyek PERTAMINA. Oleh karena itu, begitu peranan minyak merosot karena harga terpukul oleh resesi di awal 1980-an, sehingga kekuatan da n kiprah PERTAMINA meroosot, proses industrialisai Indonesia juga mengalami kemrosotan. Kelangkaan dan ini tidak memungkinkan dilanjutkannya strategi Industry Substitusi Impor (ISI), dan sejak saat itu.berbagai tekanan menuju strategi industrialisasi eksport kian menguat. Konsekuensinya, pemerintah harus memperkokoh stabilitas politik. Indicator mencolok atas upaya pemerintah ini terlihat pada pencanangan asa tunggal yang akhirnya berhasil diselesaikan pada tahun 1986. Setelah itu kebijakan pemerintah yang tidak terarah membuat sector industry sulit di tebak arahnya.
Perubahan menuju industrialisasi promosi ekspor menandai terjadinya pergeseran pengaruh di kalangan pemerintah di bidang ekonomi. Kebijakan ekonomi kambali di pengaruhi oleh teknorat-ekonom berhaluan liberal yang berpusat di BAPPENAS, setelah sebelumnya, yakni sejak pertengahan decade 1970-an, perekonomian Indonesia khususnya industrialisasi, diarahkan oleh teknorat nasionalis di departemen perindustrian (antara lalin Dirjen Suhartoyo dan menteri A.R soehoed).
Liberalisasi perekonomian ini ditopang oleh rekomendasi BANK DUNIA. Meskipun demoikian, hal ini tidaklah berarti bahwa keputusan-keputusan ekonomi kemudian diserahkan kepada pihak swasta ataupun pasar. Pemerintah tetap menguasainya. Agaknya yang tengah berlangsung adalah upaya untuk mengubah bentuk NOB Rente menjadi NOB Pembangunan. Ini antara lain terlontarnya gagasan ‘’ Indonesia incorporated ’’ . Gagasan diharapkan membawa industrialisasi menjadi semakin lancer, akan tetapi semua itu tergantuing proses dan waktu untuk menyatakan berhasil atau tidaknya. Di gelombang liberalisasi dalam tubuh birokrasi sendiri, warna teknorasi mulai pudardigantikan oleh para birokrat yang berjiwa wiraswasta. Sehingga diantara dua kubu yang sama-sama berada dalam tubuh birokrasi sering terjadi bentrokan. Sering terjadinya bentrokan tersebut acapkali sering di manfaatkan olehkelompok-elompok bisnis lain yang mempunyai back di tubuh birokrasi. Hal inilah yang menjadi kebijakn, peraturan dan program ekonomi tidak konsisten di Indonesia.
Memudarnya teknokrasi atas birokrasi Indonesia merupakan topic besar yang layak diteliti secara khusus dan mendalam kaitannya dengan struktur industry. Nmaun disini secara tentative bias di kemukakan bahwa pudarnya warna teknokrasi itu dikarenakan urgensi keberadaan para teknokrat dirasakan (oleh penguasa) telah menurun. Artinya, arti penting mereka dirasakan tidak sebesar saat-saat sebelumnya. Legitimasu orde baru mutlak telah diperoleh, baik secara domestic maupun internasional. Indonesia pun mulai disebut-sebut sebagai calon Negara industribaru. Dengan semua itu, jiwa-jiwa wiraswasta mulai bias menyalurkan jiwa wiraswastanya ke dunia bisnis.
Untuk urusan-urusan eksternal, seperti IGGI (tidak ada), CGI, BANK DUNIA,ABD dan IMF, peranan kelompok teknikrat memang belum tergantikan. Namun untuk pengelolaan ekonomi sehari-hari, kelompok usaha lebih banyak kesempatan untuk di beri tempat. Sesuai dengan karakter dunia bisnis yang oportunistik, maka gerak mereka pun berubah-ubah dan terkadang tidaksesuai dengan nalar makroekonomi. Mungkin disinilah letak kebenaran pnadapat Kwik Kian Gie, bahwa ekonomi Indonesia sulit ditebak karena memang tidak dijalankan secara sistematis dan menuruti logika-logika makroekonomi.
Kenyataan ini juga sesuai dengan ramalan Mancur Olson, yang mengemukakan bahwa dalam kondisi ekonoi yang ‘’stabil’’,koalisi-koalisi distribusional aka berkembang biak dan semakin merajalela. Pada gilirannya, perkembanga demikianlah yang merupaka salah satu factor penyebab rapuhnya perekonomian Indonesia, baik terhadap gejolak eksternal maupun gejolak social dalam negeri. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan upaya meningkatka social-ekonomi yang merupakan kunci bagi penguatan competitive advantage of nation dalam menghadapi persaingan dunia yang semakin ketat di pasar internasional. Seperti GATT,APEC, NAFTA, AFTA dan sebagainya, maka diperlukan kesungguhan untuk mengeliminasikan sumber-sumber piuh yang ada dipasar dalam negeri dan meningkatkan keandalan factor-faktor produksi didalam perekonomian nasional.
• SUMBER
1. Faisal Basri, Perekonomian Idonesia