Kamis, 04 Desember 2014




oleh ; siti noor fadhillah
RESUME
Ciri Estetik dan Ekstra Estetik Puisi dan Prosa disetiap Periode dalam Sastra  Indonesia
Ciri-ciri Intrinsik dalam periode-periode Sastra Indonesia
1.      Ciri Struktur Estetik
a)      Periode Balai Pustaka : 1920-1940
ü  Bergaya romantik dan bersifat didaktiss
b)     Periode Pujangga Baru : 1930-1945
ü  Diutamakannya rima, dan teknik perwatakan sudah dengan watak bulat
c)      Periode Angkatan 45 :1940-1955
ü  Gaya pernyataan pikiran berkembang
a)      Periode Angkatan 50 :1950-1970
ü  Gaya meneruskan Angkatan 45
b)     Periode Angkatan :1965-sekarang (1984)
ü  Dipergunakannya kata-kata daerah, dan bergaya simbolik suriealistik

2.      Ciri Struktur Ekstra Estetik

c)      Periode Balai Pustaka : 1920-1940
ü  Mengenai kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
d)     Periode Pujangga Baru : 1930-1945
ü  Ide nasionalisme dan cita-cita banagsa banyak mewarnai karya sastra pujangga
e)      Periode Angkatan 45 :1940-1955
ü  Mengemukakan masalah kemanusiaan yang universal
f)       Periode Angkatan 50 :1950-1970
ü  Gaya meneruskan Angkatan 45
a)   Periode Angkatan 70 :1965-sekarang (1984)
ü  Mengemukakan hak asasi manusia






Ciri-ciri Intrinsik Dalam Periode-periode Sastra Indonesia

A.    Pendahuluan
Puisi menurut asumsi kebanyakan masyarakat hanyalah kata-kata merayu, memuji menyanjung, dan makna yang terkandung di dalamnya adalah makna yang semu, hanya pengrangnyalah yang dapat mengetahui  makna asli tersebut. Sedangkan prosa adalah karangan bebas yang tidak mempunyai aturan, dan identikkan dengan tulisan. akan tetapi, puisi dan prosa memiliki ciri-ciri estetik dan ekstra estetik tersendiri yang ada di dalamnya. Menurut Panuti Sudjiman (1990:64) puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terkait oleh irama, matra dan rima serta penyusunan larik dan bait. Sedangkan menurut Wirjosoedarmo (1984:51) puisi itu adalah karangan yang terkait 1) banyak baris dalam setiap bait 2) banyak kata dalam tiap bait 3) banyak suku kata dalam tiap baris 4) ada rima 5) dan ada irama.[1] Dalam kamus KBBI prosa adalah karangan bebas (tidak terikat oleh kaidah yg terdapat dl puisi);
Dalam karya sastra, puisi dan prosa merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dibahas, baik dari ciri-ciri sastra, kritik sastra, unsur intrinsik atau ekstrinsik sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (1988:786-787), kata sastra dituliskan 1. Bahasa, (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). 2.kesusastraan, karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan yang lainnya memiliki ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan di dalam isi dan ungkapannya, ragam sastra yang dikenal umum ialah puisi, roman atau novel, cerita pendek, drama epik dan lirik. 3. Kitab suci (Hindu) kitab (ilmu pengetahuan). 4. Pustaka; kitab perimbon (berisi ramalan). 5. Tulisan atau huruf.[2]
Oleh karna itu, dalam kesusastraan Indonesia modern seperti dikenal sekarang ini merupakan jenis kesusastraan baru, setidak-tidaknya dalam hal bentuk. Bentuk sastra modern seperti novel atau roman, cerita pendek, drama, puisi modern, esai kritik dan sebagainya belum dikenal dalam jenis sastra etnik Indonesia sebelumnya (misalnya sastra Jawa, sastra Sunda, sastra Bali dan sebagainya).
Bentuk-bentuk, kesusastraan lama seperti syair, pantun, hikayat, seloka dalam sastra melayu-kelasik atau bentuk-bentuk babad, serat, dalam sastra Jawa, atau wawacan, pantun dalam sastra Sunda, merupakan tuntutan kebutuhan atau kebudayaan masyarakatnya. Cara para sastrawan mengungkapkan gagasan mereka dalam sastra sesuai dengan konvensi budaya sastra yang telah berlangsung.[3]
Selanjutnya makalah ini di sajikan untuk dapat membedakan ciri-ciri estetik dan ekstra estetik dalam puisi dan prosa, karna itu makalah patut untuk dijadikan bahan diskusi, dalam makalah ini pula, penulis akan menjelaskan sedikit tentang ciri-ciri estetik dan ekstra estetik dalam puisi dan prosa pada setiap periode sastra Indonesia, Dengan timbulnya masalah diatas, penulis akan membatasi makalah ini hanya pada puisi dan prosa periode 1920-1984.
Dari rumusan masalah diatas yaitu: Apa saja ciri-ciri estetik dan ekstra estetik dalam puisi dan prosa pada  periode 1920-1984 dalam Sastra Indonesia, kemudaian, apakah ada perbedaan ciri-ciri estetik dan ekstra estetik dalam puisi dan prosa pada  setiap periode 1920-1984 dalam Sastra Indonesia. Sedangkan tujuannya untuk mengetahui ciri-ciri estetik dan ekstra estetik dan perbedaan ciri-ciri dalam puisi dan prosa pada  periode 1920-1984 dalam Sastra Indonesia. Serta diharapkan dapat memberikan manfaat serta penjelasan kepada khalayak umum, bahwa banyak perbedaan dalam ciri-ciri  puisi dan prosa pada era ini.
Dengan demikian, makalah ini menggunakan konsep/teori dari Pradopo dan Yudiono teori tersebut diambil dari buku Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra. Metode dan Kritik, dan Penerapannya, dan buku Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, dan buku tersebut bersifat primer, sedangkan buku yang bersifat sekunder ialah  Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer,dan  Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal, yang dibantu juga oleh sumber makalah, dan blog.
Dalam sistematika penulisan ini, penulis akan membahas kurang lebih mengenai ciri-ciri unsur intrinsik dalam periode-periode sastra Indonesia, ciri-ciri unsur  intrinsik tersebut ialah ciri-ciri estetik dan ciri unsur ekstra estetik yang dijelaskan pada periode-periode balai Pustaka, periode pujangga baru, periode angkatan 45, periode angkatan 50 dan terakhir Periode Angkatan 70.


B.     Ciri-ciri Intrinsik dalam periode-periode Sastra Indonesia
Telah dijelaskan dari resume diatas, bahwa ciri-ciri Intrinsik dalam periode-periode Sastra Indonesia dibagi menjadi dua ciri:

1.      Ciri Struktur Estetik
Ciri Struktur Estetik meliputi di antaranya alur, penokohan, (teknik latar, pusat pengisahan, gaya bercerita dan gaya bahasa.[4] Dalam periode balai pustaka (1920-1940) ini ciri puisi dan prosa pada masa ini yaitu terdapat ciri-ciri tradisi sastra romantik Barat seperti oposisi antara akhirat (syurga) dan dunia, desa dan kota, alam dan kebudayaan atau manusia, serta malam dengan siang.[5] Puisi dan prosa pada umumnya disisipkan dalam roman-roman untuk member nasihat kepada pembaca, bersifat tradisional.[6] Misalnya:  puisi  Bukit Barisan  karya Moh. Yamin di bawah ini!
Di atas batasan Bukit Barisan,
Memandang beta ke bawah memandang,
Tampaklah hutan rimba dan ngarai,
Lagipun sawah, telaga nan permai,
Serta gerangan lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna,
Oleh pucuk daun kelapa.[7]
Periode Pujangga Baru : 1930-1945 pada periode ini puisi samping itu cerita pendek mulai banyak ditulis, begitu juga drama.[8]Sedangkan sastra puisi sangat dominan dan mulai banyak ditulis cerita pendek (cerpen) dan drama yang pada umumnya beraliran romantic karena pengaruh Gerakan 80 di Belanda. [9]Misalnya:

 terbuka bunga

Terbuka bunga dalam hatiku !
kembang rindang disentuh bibir kesturimu.
Melayah-layah mengintip restu senyumanmu.
Dengan mengelopaknya bunga ini, layulah
bunga lampau, kekasihku.
Bunga sunting hatiku, dalam masa mengembara
menanda dikau
Kekasihku ! inikah bunga sejati yang tiadakan
layu ?[10]

Periode angkatan 45 :1940-1955 berkembang puisi, cerpen, novel, dan drama dengan warna perang.[11] pada periode inikeadaan perang mempengaruhi penciptaan sastra dalam permasalahan dan gayanya: gaya pernyataan pikiran berkembang, gaya puisinya bebas serta diksinya menggunakan kata sehari-hari.[12] Misalnya:   Puisi
AKU
kalau sampai waktuku
kumau tak seorangpun merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
biar peluru menembus kulitku
aku tetap meradang menerjang
luka dan bisa kubawa berlari
hingga hilang pedih dan peri
dan aku akan lebih tidak perduli
aku mau hdup seribu tahun lagi
(Chairil Anwar)[13]
Periode Angkatan 50 :1950-1970 Gaya meneruskan Angkatan 45 akan tetapi gaya (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi cerita dan balada.[14] Disamping itu periode ini juga memperlihatkan kesadaran baru di kalangan sastrawan untuk memikirkan masalah-masalah kemasyarakatan dalam suasana kemerdekaan dan para sastrawan pun mulai membuat orientasi baru dengan menggarap bahan-bahan dari sastra dan kebudayaan Indonesia sendiri.[15] Misalnya:
GADIS PEMINTA-MINTA
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dam kemayaan riang

Duniamu yang lebih tinggi dari menara ketedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kauhafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk membagi dukaku

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

(Toto Sudarto Bacthtiar)[16]
Periode Angkatan 70 :1965-sekarang (1984) Pada periode angkatan ini lebih banyak berkembang apa yang disebut sastra pop yang secara literer tidak menunjukan adanya perkembangan sastra.[17]  Dan dipergunakannya kata-kata daerah, dan bergaya simbolik suriealistik.[18] Misalnya:
TAKUT ‘66, TAKUT ‘98
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa.
1998
(Taufiq Ismail)[19]


2.      Ciri Struktur Ekstra Estetik
Ciri struktur ekstra estetik meliputi bahan-bahan karya sastra. Seperti masalah, pemikiran, filsafat, pandangan hidup, gambaran kehidupan, bahkan juga termasuk bahasanya sendiri.[20] Yang pertama Periode Balai Pustaka : 1920-1940 yaitu mengenai kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, karakteristik yang membedakan sastra angkatan Balai Pustaka dengan sastra angkatan lainnya adalah: karya-karyannya kebanyakan bertemakan kawin paksa, memuat pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda, unsur nasionalitas yang terkandung dalam karya sastra belum jelas, peristiwa yang diceritakan hanya merupakan realitas kehidupan, analisis psikologi dalam karya sastra masih kurang, bahasa yang digunakan adalah bahasa melayu umum, serta yang paling membedakan sastra angkatan Balai Pustaka dengan angkatan lainya yaitu genre hasil karyanya berupa novel, pantun dan syair.misalnya: seperti dalam novel Siti Nurbaya yang menceritakan kawin paksa dengan datuk maringgih.[21]
Periode Pujangga Baru : 1930-1945 pada periode angkatan ini telah bangkit atau tumbuh nasionalisme sebagai roh sastra Indonesia[22] dan cita-cita bangsa pun banyak mewarnai karya sastra pujangga baru, serta ciri-ciri periode ini bersifat dinamis, individualistis, dan Hasil karya bercorak kebangsaan.[23] Sedangkan periode angkatan 45 :1940-1955 adalah masa pergolakan semangat mempertahankan kemerdekaan, pergolakan ideologi, dan pencarian konsep-konsep sastra.[24] Kemudian mengemukakan masalah kemanusiaan yang universal, bersifat bebas individualistis, dan realitas.[25] Contoh seperti sajak Krawang—Bekasi karya Chairil Anwar
Periode Angkatan 50 :1950-1970, angkatan ini gaya meneruskan Angkatan 45.[26] Adanya organisasi kebudayaan bentukan partai seperti Lekara, (1950), LKN (1959) dan lesbumi), pasang surut majalah sastra (seperti kisah, sastra, dan cerpen), deklarasi Manifes Kebudayaan, dan campur tangan kekuasaan dan politik ke tengah kehidupan sastra.[27]Misalnya: seperti puisi karya Rendra yaitu “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo” atau “Nyanyian Angsa” ada gambaran suasana muram karena menggambarkan hidup yang penuh penderitaan. Kemudian periode angkatan 70 :1965-sekarang (1984) pada masa ini mengemukakan hak asasi manusia.[28] Seiring dengan itu, terjadi pemapanan berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, pres, dan pendidikan yang dampaknya tampak juga dibidang sastra Indonesia tampak semakin mapan di fakultas sasta, penelitian semakin marak di mana-mana, dan penerbitan pun terbilang berlimpah ruah, walupun secara keseluruhan berkembang dengan mapan.[29]















KESIMPULAN
Dari apa yang telah penulis jelaskan diatas, dapat diambil kesimpulan bahawa ciri-ciri estetik dan ekstra estetik dalam puisi dan prosa pada  periode 1920-1984 dalam Sastra Indonesia itu memiliki perbedaan-perbedaan tersendiri, di antara nya:
Pada periode balai Pustaka,  ciri puisi dan prosa pada masa ini yaitu terdapat ciri-ciri tradisi sastra romantik Barat dan pada umumnya disisipkan dalam roman-roman untuk member nasihat kepada pembaca, bersifat tradisional, dari ciri ekstra estetiknya karakteristik yang membedakan sastra angkatan balai pustaka dengan sastra angkatan lainnya adalah karya-karyannya kebanyakan bertemakan kawin paksa. periode pujangga baru, pada periode ini tidak hanya puisi, cerita pendek pun mulai banyak ditulis, begitu juga drama, drama yang pada umumnya beraliran romantic karena pengaruh Gerakan 80 di Belanda, dari ciri ekstra estetiknya angkatan ini telah bangkit atau tumbuh nasionalisme sebagai roh sastra Indonesia dan cita-cita bangsa pun banyak mewarnai karya sastra pujangga baru, Hasil karya bercorak kebangsaan.
Sedangkan Periode Angkatan 45 adanya perkembangan puisi, cerpen, novel, dan drama dengan warna perang, gaya pernyataan pikiran berkembang, gaya puisinya bebas serta diksinya menggunakan kata sehari-hari, sedangkan ciri ekstra estetiknya masa ini ialah masa pergolakan semangat mempertahankan kemerdekaan, pergolakan ideologi, dan pencarian konsep-konsep sastra. Periode Angkatan 50 Gaya meneruskan Angkatan 45 akan tetapi gaya (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi cerita dan balada. ciri ekstra estetiknya ialah adanya organisasi kebudayaan dan terbentuknya partai dan campur tangan kekuasaan dan politik ke tengah kehidupan sastra.
Periode angkatan 70 Pada periode angkatan ini lebih banyak berkembang apa yang disebut sastra pop yang secara literer tidak menunjukan adanya perkembangan sastra dan dipergunakannya kata-kata daerah, dan bergaya simbolik suriealistik, sedangkan ciri ekstra estetiknya pada masa ini mengemukakan hak asasi manusia, Seiring dengan itu, terjadi pemapanan dibidang sastra Indonesia tampak semakin mapan di fakultas sasta,.
Pada makalah ini juga merupakan penelitian kepustakaan, yang sumber datanya berbentuk buku, dan menggunakan metode kualitatif, artinya dalam pengumpulan datanya analisisnya berupa kata, bukan angka maupun statistik.
















DAFTAR PUSTAKA

Pradopo Rahmat Djoko, Beberapa Teori Sastra. Metode dan Kritik, dan Penerapannya,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (1995)
Purba Antilan, Sastra Indonesia Kontemporer, Yogyakarta: Graha Ilmu, (2010)
Sumardjo Jakob, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal,  Yogyakarta: Galang Press, (2004)
Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo,(2007)


[1] Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010) hal.10
[2] Antilan Purba, opcit.                                     
[3] Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal, ( Yogyakarta, Galang Press, 2004) hlm, 8.
[4] Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra. Metode dan Kritik, dan Penerapannya, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995) hal, 22.
[5] Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo, 2007),hlm. 75
[6] Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra. Metode dan Kritik, dan Penerapannya, hal, 22.
[8] Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra. Metode dan Kritik, dan Penerapannya, hal, 24.

[9] Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, hal, 48-49.
[11] Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, hal, 49.
[12] Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra. Metode dan Kritik, dan Penerapannya, hal, 26-27.
[13] http://www.karyapuisi.com/2010/04/aku.html, diakses, pada hari kamis tanggal 4, 2014.
[14] Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra. Metode dan Kritik, dan Penerapannya, hal, 30.
[15] Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, hal, 49.
[16] http://www.anakciremai.com/2009/05/bahasa-indonesia-memahami-puisi.html, diakses pada hari kamis tanggal 4 desember, 2014.
[17] Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, hal, 49.
[18] Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra. Metode dan Kritik, dan Penerapannya, ( Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995) hal, 31-33
[20] Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra. Metode dan Kritik, dan Penerapannya, hal, 22.
[22] Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, hal, 52
[23] Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra. Metode dan Kritik, dan Penerapannya, hal,25.
[24] Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, hal, 52
[25] Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra. Metode dan Kritik, dan Penerapannya, hal, 24.
[26]Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra. Metode dan Kritik, dan Penerapannya, hal, 27.
[27] Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, hal, 52
[28] Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra. Metode dan Kritik, dan Penerapannya, hal, 31.
[29] Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, hal, 53.