oleh ; siti noor fadhillah
RESUME
Ciri Estetik
dan Ekstra Estetik Puisi dan Prosa disetiap Periode dalam Sastra Indonesia
Ciri-ciri Intrinsik dalam
periode-periode Sastra Indonesia
1.
Ciri Struktur Estetik
a)
Periode Balai Pustaka : 1920-1940
ü Bergaya
romantik dan bersifat didaktiss
b)
Periode Pujangga Baru : 1930-1945
ü Diutamakannya
rima, dan teknik perwatakan sudah dengan watak bulat
c)
Periode Angkatan 45
:1940-1955
ü Gaya
pernyataan pikiran berkembang
a)
Periode Angkatan 50 :1950-1970
ü Gaya
meneruskan Angkatan 45
b)
Periode Angkatan :1965-sekarang
(1984)
ü Dipergunakannya
kata-kata daerah, dan bergaya simbolik suriealistik
2.
Ciri Struktur Ekstra
Estetik
c)
Periode Balai Pustaka : 1920-1940
ü Mengenai
kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
d)
Periode Pujangga Baru : 1930-1945
ü Ide
nasionalisme dan cita-cita banagsa banyak mewarnai karya sastra pujangga
e)
Periode Angkatan 45 :1940-1955
ü Mengemukakan
masalah kemanusiaan yang universal
f)
Periode Angkatan 50 :1950-1970
ü Gaya
meneruskan Angkatan 45
a)
Periode Angkatan 70 :1965-sekarang
(1984)
ü Mengemukakan
hak asasi manusia
Ciri-ciri
Intrinsik Dalam Periode-periode Sastra Indonesia
A.
Pendahuluan
Puisi menurut asumsi kebanyakan masyarakat hanyalah
kata-kata merayu, memuji menyanjung, dan makna yang terkandung di dalamnya
adalah makna yang semu, hanya pengrangnyalah yang dapat mengetahui makna asli tersebut. Sedangkan prosa adalah
karangan bebas yang tidak mempunyai aturan, dan identikkan dengan tulisan. akan
tetapi, puisi dan prosa memiliki ciri-ciri estetik dan ekstra estetik
tersendiri yang ada di dalamnya. Menurut Panuti Sudjiman (1990:64) puisi adalah
ragam sastra yang bahasanya terkait oleh irama, matra dan rima serta penyusunan
larik dan bait. Sedangkan menurut Wirjosoedarmo (1984:51) puisi itu adalah
karangan yang terkait 1) banyak baris dalam setiap bait 2) banyak kata dalam
tiap bait 3) banyak suku kata dalam tiap baris 4) ada rima 5) dan ada irama. Dalam
kamus KBBI prosa adalah karangan bebas (tidak terikat oleh kaidah yg terdapat
dl puisi);
Dalam karya sastra, puisi dan prosa
merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dibahas, baik dari ciri-ciri
sastra, kritik sastra, unsur intrinsik atau ekstrinsik sebagaimana dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (1988:786-787), kata sastra dituliskan 1. Bahasa,
(kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa
sehari-hari). 2.kesusastraan, karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan
yang lainnya memiliki ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan
di dalam isi dan ungkapannya, ragam sastra yang dikenal umum ialah puisi, roman
atau novel, cerita pendek, drama epik dan lirik. 3. Kitab suci (Hindu) kitab
(ilmu pengetahuan). 4. Pustaka; kitab perimbon (berisi ramalan). 5. Tulisan
atau huruf.
Oleh karna itu, dalam kesusastraan
Indonesia modern seperti dikenal sekarang ini merupakan jenis kesusastraan
baru, setidak-tidaknya dalam hal bentuk. Bentuk sastra modern seperti novel
atau roman, cerita pendek, drama, puisi modern, esai kritik dan sebagainya
belum dikenal dalam jenis sastra etnik Indonesia sebelumnya (misalnya sastra
Jawa, sastra Sunda, sastra Bali dan sebagainya).
Bentuk-bentuk, kesusastraan lama
seperti syair, pantun, hikayat, seloka dalam sastra melayu-kelasik atau
bentuk-bentuk babad, serat, dalam sastra Jawa, atau wawacan, pantun dalam
sastra Sunda, merupakan tuntutan kebutuhan atau kebudayaan masyarakatnya. Cara
para sastrawan mengungkapkan gagasan mereka dalam sastra sesuai dengan konvensi
budaya sastra yang telah berlangsung.
Selanjutnya
makalah ini di sajikan untuk dapat membedakan ciri-ciri estetik dan ekstra
estetik dalam puisi dan prosa, karna itu makalah patut untuk dijadikan
bahan diskusi, dalam makalah ini pula, penulis akan menjelaskan sedikit tentang
ciri-ciri estetik dan ekstra estetik dalam puisi dan prosa pada
setiap periode sastra Indonesia, Dengan timbulnya masalah diatas, penulis akan
membatasi makalah ini hanya pada puisi dan prosa periode 1920-1984.
Dari rumusan masalah diatas yaitu: Apa
saja ciri-ciri estetik dan ekstra estetik dalam puisi dan prosa
pada periode 1920-1984 dalam Sastra
Indonesia, kemudaian, apakah ada perbedaan ciri-ciri estetik dan ekstra
estetik dalam puisi dan prosa pada
setiap periode 1920-1984 dalam Sastra Indonesia. Sedangkan tujuannya untuk
mengetahui ciri-ciri estetik dan ekstra estetik dan perbedaan
ciri-ciri dalam puisi dan prosa pada
periode 1920-1984 dalam Sastra Indonesia. Serta diharapkan dapat
memberikan manfaat serta penjelasan kepada khalayak umum, bahwa banyak
perbedaan dalam ciri-ciri puisi dan
prosa pada era ini.
Dengan demikian, makalah ini
menggunakan konsep/teori dari Pradopo dan Yudiono teori tersebut diambil dari
buku Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra. Metode dan Kritik, dan
Penerapannya, dan buku Yudiono K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, dan
buku tersebut bersifat primer, sedangkan buku yang bersifat sekunder ialah Antilan Purba, Sastra Indonesia
Kontemporer,dan Jakob
Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal, yang dibantu juga oleh
sumber makalah, dan blog.
Dalam sistematika penulisan ini,
penulis akan membahas kurang lebih mengenai ciri-ciri unsur intrinsik dalam
periode-periode sastra Indonesia, ciri-ciri unsur intrinsik tersebut ialah ciri-ciri estetik dan
ciri unsur ekstra estetik yang dijelaskan pada periode-periode balai Pustaka,
periode pujangga baru, periode angkatan 45, periode angkatan 50 dan
terakhir Periode Angkatan 70.
B. Ciri-ciri Intrinsik dalam periode-periode Sastra
Indonesia
Telah
dijelaskan dari resume diatas, bahwa ciri-ciri Intrinsik dalam periode-periode
Sastra Indonesia dibagi menjadi dua ciri:
1. Ciri Struktur Estetik
Ciri
Struktur Estetik meliputi di antaranya alur, penokohan, (teknik latar,
pusat pengisahan, gaya bercerita dan gaya bahasa.
Dalam periode balai pustaka (1920-1940) ini ciri puisi dan prosa pada masa ini
yaitu terdapat ciri-ciri tradisi sastra romantik Barat seperti oposisi antara
akhirat (syurga) dan dunia, desa dan kota, alam dan kebudayaan atau manusia,
serta malam dengan siang.
Puisi dan prosa pada umumnya disisipkan dalam roman-roman untuk member nasihat
kepada pembaca, bersifat tradisional.
Misalnya: puisi Bukit Barisan
karya
Moh. Yamin di bawah ini!
Di atas batasan Bukit Barisan,
Memandang beta ke bawah memandang,
Tampaklah hutan rimba dan ngarai,
Lagipun sawah, telaga nan permai,
Serta gerangan lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna,
Periode
Pujangga Baru : 1930-1945 pada periode ini puisi samping itu cerita pendek
mulai banyak ditulis, begitu juga drama.Sedangkan
sastra puisi sangat dominan dan mulai banyak ditulis cerita pendek (cerpen) dan
drama yang pada umumnya beraliran romantic karena pengaruh Gerakan 80 di
Belanda. Misalnya:
terbuka bunga
Terbuka bunga
dalam hatiku !
kembang rindang disentuh bibir kesturimu.
Melayah-layah mengintip restu senyumanmu.
Dengan mengelopaknya bunga ini, layulah
bunga lampau, kekasihku.
Bunga sunting hatiku, dalam masa mengembara
menanda dikau
Kekasihku ! inikah bunga sejati yang tiadakan
layu ?
Periode angkatan 45
:1940-1955 berkembang puisi, cerpen, novel, dan drama dengan
warna perang.
pada periode inikeadaan perang mempengaruhi penciptaan sastra dalam permasalahan
dan gayanya: gaya pernyataan pikiran berkembang, gaya puisinya bebas serta
diksinya menggunakan kata sehari-hari. Misalnya: Puisi
AKU
kalau
sampai waktuku
kumau
tak seorangpun merayu
tidak
juga kau
tak
perlu sedu sedan itu
aku
ini binatang jalang
dari
kumpulannya terbuang
biar
peluru menembus kulitku
aku
tetap meradang menerjang
luka
dan bisa kubawa berlari
hingga
hilang pedih dan peri
dan
aku akan lebih tidak perduli
aku
mau hdup seribu tahun lagi
Periode Angkatan 50 :1950-1970 Gaya
meneruskan Angkatan 45 akan tetapi gaya (bercerita) berkembang dengan
berkembangnya puisi cerita dan balada.
Disamping
itu periode ini juga memperlihatkan kesadaran baru di kalangan sastrawan untuk
memikirkan masalah-masalah kemasyarakatan dalam suasana kemerdekaan dan para
sastrawan pun mulai membuat orientasi baru dengan menggarap bahan-bahan dari
sastra dan kebudayaan Indonesia sendiri.
Misalnya:
GADIS
PEMINTA-MINTA
Setiap kita bertemu,
gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal
untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada
bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi
hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis
kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah
jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan
angan-angan yang gemerlapan
Gembira dam kemayaan
riang
Duniamu yang lebih
tinggi dari menara ketedral
Melintas-lintas di atas
air kotor, tapi yang begitu kauhafal
Jiwa begitu murni,
terlalu murni
Untuk membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis
kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak
ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya
tanda
Periode Angkatan 70 :1965-sekarang
(1984) Pada periode angkatan ini lebih banyak berkembang apa yang
disebut sastra pop yang secara literer tidak menunjukan adanya perkembangan
sastra. Dan dipergunakannya kata-kata daerah, dan
bergaya simbolik suriealistik. Misalnya:
TAKUT ‘66, TAKUT
‘98
Mahasiswa takut pada
dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada
menteri
Menteri takut pada
presiden
Presiden takut pada
mahasiswa.
1998
2. Ciri Struktur Ekstra Estetik
Ciri struktur ekstra estetik
meliputi bahan-bahan karya sastra. Seperti masalah, pemikiran, filsafat,
pandangan hidup, gambaran kehidupan, bahkan juga termasuk bahasanya sendiri.
Yang pertama Periode Balai Pustaka : 1920-1940 yaitu mengenai
kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari,
karakteristik yang membedakan sastra angkatan Balai Pustaka dengan sastra
angkatan lainnya adalah: karya-karyannya kebanyakan bertemakan kawin paksa,
memuat pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda, unsur nasionalitas
yang terkandung dalam karya sastra belum jelas, peristiwa yang diceritakan
hanya merupakan realitas kehidupan, analisis psikologi dalam karya sastra masih
kurang, bahasa yang digunakan adalah bahasa melayu umum, serta yang paling
membedakan sastra angkatan Balai Pustaka dengan angkatan lainya yaitu genre
hasil karyanya berupa novel, pantun dan syair.misalnya: seperti dalam novel
Siti Nurbaya yang menceritakan kawin paksa dengan datuk maringgih.
Periode Pujangga Baru : 1930-1945
pada periode angkatan ini telah bangkit atau tumbuh nasionalisme sebagai
roh sastra Indonesia dan
cita-cita bangsa pun banyak mewarnai karya sastra pujangga baru, serta
ciri-ciri periode ini bersifat dinamis, individualistis, dan Hasil karya
bercorak kebangsaan.
Sedangkan periode angkatan 45 :1940-1955 adalah masa pergolakan semangat
mempertahankan kemerdekaan, pergolakan ideologi, dan pencarian konsep-konsep
sastra.
Kemudian mengemukakan masalah kemanusiaan yang universal, bersifat bebas
individualistis, dan realitas.
Contoh seperti sajak Krawang—Bekasi karya Chairil Anwar
Periode Angkatan 50 :1950-1970,
angkatan ini gaya meneruskan Angkatan 45. Adanya
organisasi kebudayaan bentukan partai seperti Lekara, (1950), LKN (1959) dan
lesbumi), pasang surut majalah sastra (seperti kisah, sastra, dan
cerpen), deklarasi Manifes Kebudayaan, dan campur tangan kekuasaan dan
politik ke tengah kehidupan sastra.Misalnya:
seperti puisi karya Rendra yaitu “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo” atau “Nyanyian
Angsa” ada gambaran suasana muram karena menggambarkan hidup yang penuh
penderitaan. Kemudian periode angkatan 70 :1965-sekarang (1984) pada
masa ini mengemukakan hak asasi manusia. Seiring
dengan itu, terjadi pemapanan berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi,
politik, pres, dan pendidikan yang dampaknya tampak juga dibidang sastra
Indonesia tampak semakin mapan di fakultas sasta, penelitian semakin marak di
mana-mana, dan penerbitan pun terbilang berlimpah ruah, walupun secara
keseluruhan berkembang dengan mapan.
KESIMPULAN
Dari apa yang telah penulis jelaskan diatas, dapat
diambil kesimpulan bahawa ciri-ciri estetik dan ekstra estetik
dalam puisi dan prosa pada periode
1920-1984 dalam Sastra Indonesia itu memiliki perbedaan-perbedaan tersendiri,
di antara nya:
Pada periode balai Pustaka, ciri puisi dan prosa pada masa ini yaitu terdapat
ciri-ciri tradisi sastra romantik Barat dan pada umumnya disisipkan dalam
roman-roman untuk member nasihat kepada pembaca, bersifat tradisional, dari
ciri ekstra estetiknya karakteristik yang membedakan sastra angkatan
balai pustaka dengan sastra angkatan lainnya adalah karya-karyannya kebanyakan
bertemakan kawin paksa. periode pujangga baru, pada periode ini tidak
hanya puisi, cerita pendek pun mulai banyak ditulis, begitu juga drama, drama
yang pada umumnya beraliran romantic karena pengaruh Gerakan 80 di Belanda,
dari ciri ekstra estetiknya angkatan ini telah bangkit atau tumbuh
nasionalisme sebagai roh sastra Indonesia dan
cita-cita bangsa pun banyak mewarnai karya sastra pujangga baru, Hasil karya
bercorak kebangsaan.
Sedangkan Periode Angkatan 45 adanya perkembangan
puisi, cerpen, novel, dan drama dengan warna perang, gaya pernyataan
pikiran berkembang, gaya puisinya bebas serta diksinya menggunakan kata
sehari-hari, sedangkan ciri ekstra estetiknya masa ini ialah masa
pergolakan semangat mempertahankan kemerdekaan, pergolakan ideologi, dan
pencarian konsep-konsep sastra. Periode Angkatan 50 Gaya meneruskan Angkatan
45 akan tetapi gaya (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi cerita
dan balada. ciri ekstra estetiknya ialah adanya organisasi
kebudayaan dan terbentuknya partai dan campur tangan kekuasaan dan politik ke
tengah kehidupan sastra.
Periode angkatan 70 Pada
periode angkatan ini lebih banyak berkembang apa yang disebut sastra pop yang
secara literer tidak menunjukan adanya perkembangan sastra dan dipergunakannya
kata-kata daerah, dan bergaya simbolik suriealistik, sedangkan ciri ekstra
estetiknya pada masa ini mengemukakan hak asasi manusia, Seiring
dengan itu, terjadi pemapanan dibidang sastra Indonesia tampak semakin mapan di
fakultas sasta,.
Pada makalah ini juga merupakan
penelitian kepustakaan, yang sumber datanya berbentuk buku, dan menggunakan
metode kualitatif, artinya dalam pengumpulan datanya analisisnya berupa kata,
bukan angka maupun statistik.
DAFTAR PUSTAKA
Pradopo Rahmat Djoko, Beberapa Teori
Sastra. Metode dan Kritik, dan Penerapannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (1995)
Purba
Antilan, Sastra Indonesia Kontemporer, Yogyakarta: Graha
Ilmu, (2010)
Sumardjo
Jakob, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal, Yogyakarta: Galang Press, (2004)
Yudiono
K.S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: PT
Grasindo,(2007)