Selasa, 11 November 2014



Oleh: Septa Nuril Fahmi

I.         SOEKARNO
A.    Ideologi.
Soekarno adalah salah satu tokoh penting bahkan utama dalam pemikiran dan perjuangan Indonesia. Sejak awal gagasan yang ia bawa adalah semangat nasionalisme untuk melepaskan diri dari kolonialisme Belanda. Menurut Soekarno, seorang nasionalis sejati adalah orang yang bersedia berbakti dan memperbaiki nasib kaum kecil dari segala bentuk kemelaratan serta melindungi rakyat dari penindasan.
Konstruksi nasionalisme Soekarno tercipta melalui beberapa factor, diantaranya:
1.   Riwayat kehidupannya.
Soekarno adalah pribadi sintesis yaitu perpaduan keturunan Jawa-Bali (Raden Soekemi & Ida Ayu Nyoman). Kemudian, Soekarno diasuh kakeknya yang berada di Tulungagung. Di sini, Soekarno mulai mengenal dunia pewayangan yang diperkenalkan oleh kakeknya sendiri. Pewayangan sendiri bagi masyarakat Jawa bukan sekedar tontonan belaka, namun mempunyai makna dan ajaran yang tersirat dari tontonan tersebut. Soekarno mulai mengagumi Bima, salah satu tokoh dari cerita Pandawa Lima yang selalu gigih dan berani dalam membela kebenaran, dikehidupan nyata ia terobsesi ingin menjadi seperti dirinya yang melawan kolonialisme.
2.   Lingkungan.
Soekarno muda tinggal bersama Oemar Said Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam di Surabaya dan sekolah di Hoogere Burger School. Di sini ia bertemu para tokoh besar        dari berbagai latar pemikiran yang berbeda, diantaranya tokoh dari Organisasi Social Democrat Hindia-Belanda sampai semaun, Muso, Tan Malaka, Ahmad Dahlan, Agus Salim dan Douwes Dekker. Mereka semua menjadi teman akrab diskusi Soekarno, sehingga soekarno mengenal tokoh-tokoh besar dunia ketika itu. Diantara tokoh-tokoh tersebut, Soekarno sangat tertarik denga Marxis (historis materialisme).
B.     Soekarno dan islam.
Soekarno kecil memang jarang mendapatkan pelajaran agama baik formal maupun informal. Ia dilahirkan dari keluarga yang tak membaca alquran sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Secara fakta, memanglah dia beraliran nasionalis, akan tetapi tidak menutup kemungkinan ia juga dipengaruhi oleh pemikiran islam meskipun sebagian sejarawan menyebut Soekarno sebagai nasionalis-sekuler, yang mana selalu kontras dengan nasionalis-islam.
Pemikiran Islam yang diberikan Soekarno memiliki konsep yang menarik, yakni bagaimana ia mengaitkan islam dengan kondisi bangsa saat itu. Menurut sokarno, islam adalah sebuah agama yang sederhana, rasional, dan mengandung gagasan kemajuan dan egaliter. Agama yang rasional ia bercermin pada aliran mu’tazillah, yang mana pada zaman ini islam mengalami progress karena kebebasan berfikir dan kesederhanaan yang dianggap sokarno bahwasanya ia melihat pola dasar tradisional Indonesia yang menginginkan persatuan.
II.         NU DAN PERGERAKANNYA
Sebelum mengenal NU, Soekarno cenderung meremehkan  Orang Islam pesanren yang dianggapnya kolot, karena ketika itu ia lebih terpengaruh dengan pemikiran para tokoh Islam dunia tenimbang local. Hal ini bias menjadi sebagai bukti sebuah pergerakan NU ketika itu sangat besar karena mampu merubah pandangan Soekarno yang tadinya dianggap mengenyampingkan pemikiran islam local menjadi lebih respect.
Komunitas NU sering disebut sebagai komunitas tradisionalis yang dapat terlihat secara visual adalah ritual kegamaan. NU lebih cenderung mengakomodir adat-istiadat dan budaya masyarakat local.Berdirinya NU juga berdasarkan kekhawatiran dari para pemuka agama islam melihat perkembangan masyarakat Indonesia, khususnya di jawa dalam menghadapi kolonialisme belanda serta perkembangan islam di Arab Saudi yang mulai dipengaruhi oleh faham wahabi, yang tentu sangat bertentangan dengan pemahaman NU yang kekeuh mempertahankan adat-istiadatnya. Selain itu juga atas dasar runtuhnya kekhalifahan turki, timbul dan tenggelamnya gagasan pan islamisme, dan pertentangan diantara para penganut aliran Islam di Indonesia
NU sendiri memiliki faham yang sedari awal dicanangkan yakni sosial-keagamaan. Hal ini terbukti dari adanya komite hijaz untuk memperjuangkan islam ahlussunnah wal jamaah dalam menjalankan ritual keagamaan.
Nasionalisme NU yang berbasis utama pada ajaran islam mendorongnya tidak hanya bergerak di bidang sosial-keagamaan, tetapi dalam perjalanannya juga ikut terlibat aktif dalam pergulatan masalah-masalah kebangsaan. Peran dan gerakan politik NU ini muncul sebagai respon terhadap perubahan dan perkembangan kondisi saat itu khususnya memperjuangkan masa depan umat Islam. Berikut beberapa peran dan pergerakan NU dalam perkembangan indonesia:
a)   Terjun ke dunia politik
NU dalam menghadapi kolonialisasi melakukan aliansi terhadap kelompok lain yang satu visi. Orientasi politik NU lebih tampak dalam wadah MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia/cikal bakal masyumi) tahun 1937. Keterlibatan ini membawa aksentuasi dari keagamaan dan sosial ke persoalan politik.
Selain berada di barisan para petani untuk memperjuangkan nasib mereka, NU juga bersikap tegas dalam hal keagamaan khususnya menentang campur tangan belanda dalam urusan keagamaaan (Agama Islam).
b)   Melakukan propaganda
Melalui MIAI, jepang telah melakukan propaganda tentang melipatgandakan hasil pertanian. Sadar akan hal itu, beberapa pemuda seperti wahid hasyim, soekiman, ghafar ismail dan faqih usman melakukan tindakan yang mengambil keuntungan dari propaganda tersebut, sehingga keuntungan tidak hanya untuk jepang belaka melainkan untuk muslimin dan fakir miskin melalui baitul mal.
c)   Gagasan menjadi sebuah negara.
NU adalah salah satu kelompok penting dalam perjuangan menuju Indonesia merdeka. Ketika itu, NU mengadakan diskusi dalam sanyo kaigi[1], dimana kekalahan jepang sudah diambang pintu. Jepang kemudian  membentuk BUPPKI, dari NU sendiri diwakili oleh KH. Masykur dan KH. Wahid Hasyim.
d)  Mencetuskan resolusi jihad
Tiga minggu sebelum peperangan besar di surabaya pada tanggal 10 November NU mencetuskan resolusi jihad, yang mana mengajak umat islam menentang aksi pendudukan tentara sekutu. Resolusi ini bisa diartikan sebagai perang suci atas aksi NICA dan Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia.

 III.   TITIK TEMU SOEKARNO dan NU
“Awal yang berbeda tidak menutup kemungkinan bertemu di akhir kemudian.” Kata-kata ini dirasa pas untuk menggambar NU dan soekarno karena latar belakang mereka yang berbeda antara nasionalis dan agamis, namun bisa mempunyai titik temu terutama dalam hal kebangsaan. Berikut titik temu antara NU-Soekarno berdasarkan sejarah :
a.    Nasionalisme dan sosialisme
Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwasanya soekarno cenderung berfikir nasionalis ala marxis yang mana selalu memperjuangkan rakyat kecil untuk melawan para pembesar dalam hal ini adalah pemerintah kolonial belanda. Hal ini juga sejalan dengan NU, memang pada awalnya NU hanya bergerak pada hal-hal keagamaan saja, namun seiring berjalannya waktu, NU mulai beralih ke masalah kebangsaan dalam hal ini politik. Melalui MIAI, NU melakukan pergerakannya di bidang politik yang membela kaum tani yang saat itu di bawah kendali kolonial. Nasionalisme yang dikumandangkan bung karno juga di kumandangkan oleh NU. NU melakukan beberapa aliansi dengan berbagai kelompok untuk mempersatukan visi menuju indonesia merdeka, seperti pada acara diskusi kebangsaan pada sanyo kaigi dan dkonstruksi ulang Piagam Jakarta yang mana lebih identik dengan muslim dan mngenyampingkan non-Islam, kemudian menjadi pancasila.
b.   Pancasila
Pancasila sebagai dasar Negara sudah tidak bias di ganggu gugat lagi. Indonesia dengan kondisi masyarakatnya yang majemuk dan beragam sangat pas menggunakan pancasila. Pancasila juga mencerminkan kebudayaan kita sebagai bangsa Indonesia. Soekarno memang dari awal sudah berfikiran pancasialis, bias di buktikan dengan perjuangannanya yang ingin mempersatukan bangsa ini dengan berbagai golongan, ras, agama, dan suku. Begitu juga dengan Nu. NU yang awalnya bergerak di bidang keagamaan, dalam perjalanannya mengalami perubahan pandangan karena NU sadar bahwasanya bangsa Indonesia memiliki kondisi social yang unik dan memiliki keterikatan sejarah yang mengikat yang tidak bias dipisahkan satu sama lain. Dari sini NU mulai memperjuangkan kedamaian melalui keberagaman bangsa. Bias dibuktikan pada muktamar ke-27 1984 yang intinya kembali ke khittah.
*sumber: Amir, Zainal Abidin. Soekarno dan NU; Titik Temu Nasionalisme.( Yogyakarta: Lkis. 2013).


[1] Kelompok cendekiawan yang dibentuk jepang.

Minggu, 09 November 2014


Oleh: "RAHMIWATI dan SEPTA NURIL FAHMI"
PENDAHULUAN

Bahasa adalah suatu simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahwa untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama[1]. Bahasa sebagai bagian dari fenomena sosial, dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang dialami manusia sepanjang hidupnya[2].
Seiring dengan berjalannya waktu, masalah kebahasaan itu muncul khususnya dalam perkembangan dan perubahan makna. Di era globalisasi ini, komunikasi tanpa batas dan kemudahan untuk interaksi antar para penutur bahasa dari berbagai bangsa, jelas mengakibatkan percepatan perubahan makna kosakata dan memunculkan istilah-istilah baru yang terkadang langsung ditransfer atau diserap tanpa terlebih dahulu melalui proses pencarian padanan kata atau proses penerjemahan kata asing ke bahasa sasaran[3].
Untuk itu, dalam memaknai bahasa terutama bahasa yang tidak jelas membutuhkan teori untuk mengetahui makna yang sebenarnya dimaksud. Memanglah sangat sulit untuk mengetahui makna kedua dari suatu bahasa sebagaimana yang dikatakan oleh prof. Dr. Syukron Kamil, MA. Akan tetapi, kesulitan tersebut bisa di atasi dengan teori-teori tentang makna, seperti  Teori kentekstual, Teori referensial, Teori komponensial, Teori behavioris, danTeori konseptual.







PEMBAHASAN

I.            Pengertian Teknik
Istilah teknik dalam bidang apapun sangat erat kaitannya dengan metode. Bahkan antara teknik dan metode merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Hal ini bisa kita lihat dari pendapat T Raka Joni yang mengatakan, bahwasanya teknik itu menunjukkan keragaman khas dalam mengaplikasian suatu metode sesuai dengan latar [setting] tertentu. Begitu juga sama halnya dengan teori, yang mana dari teori tersebut akan muncul sebuah teknik untuk mendukung keberhasilan dari teori tersebut. Contoh dengan menggunakan metode ceramah, maka dapat disebutkan rentangan teknik berceramah mulai dari yang diibaratkan tape-recorder dalam menyampaikan isi pelajaran yang dirancang berdasarkan teori pembelajaran mutakhir[4].
Teknik sendiri termasuk salah satu dari Trio yang sering dipakai, yakni pendekatan, metode, dan teknik, yang merupakan satu hasil dari metode yang selalu konsisten dengan pendekatan. Bahasa diterima sebagai satu sistem lambang bunyi, maka tulisan/aksara merupakan manifestasi sekunder dari bahasa. Kita pun mengetahui bahwa manifestasi sekunder ini lebih stabil dan tersimpan. Akan tetapi, kita juga tahu banyak sekali bahasa di dunia yang tidak dan belum mengenal aksara atau tulisan dan sistem ejaan[5]
Teori dan methode berfungsi untuk membantu menjelaskan hubungan yang terjadi. Fungsi lain dari teori dan metode adalah kemampuannya untuk memotivasi, mengevokasi sekaligus memodifikasi pikiran-pikiran peneliti. Sebagai alat teori berfungsi untuk mengarahkan suatu penelitian, sedangkan analisis secara langsung dilakukan melalui instrumen yang lebih konkret yaitu metode dan teknik.[6]
Jadi dapat di simpulkan bahwasanya teknik sendiri berarti sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Untuk jelasnya kita bisa membandingkan istilah-istilah yang erat kaitannya dengan teknik, seperti pendekatan, strategi, metode dan taktik[7].
1.      Pendekatan, menunjukan cara umum dalam memandang permasalahan atau objek kajian, sehingga berdampak, ibarat seseorang yang memakai kacamata dengan warna tertentu didalam memandang alam sekitar. Kacamata berwarna hijau maka akan menyebabkan lingkungan kelihatan kehijau-hijauan seterusnya.
2.      Strategi, ilmu dan kiat dalam memanfaatkan segala sumber yang dimiliki dan atau yang dapat dikerahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3.      Metode, cara yang umum untuk menyampaikan atau mempraktikan teori yang telah dipelajari dalam rangka mencapai tujuan belajar.
4.      Taktik, cara memungkinkan peserta didik memperoleh kemudahan dalam rangka mempelajari bahan ajar. Bedanya dengan teknik hanya sebatas pada siapa yang mengatakannya.

II.            Pengertian Makna
Secara etimologi kata makna berasal dari عني  yang salah satu maknanya adalah melahirkan . karena itu makna diartikan sebagai perkara yang dilahirkan dari tuturan. Perkara tersebut ada di dalam benak manusia sebelum diungkapkan dalam sarana bahasa. Sarana ini berubah-ubah sesuai dengan perubahan makna tersebut didalam benak. Perkara yang terdapat di dalam benak disimpulkan sebagai hasil pengalaman yang diolah akal secara tepat.[8]
Pemahaman makna dibedakan dari arti didalam semantic. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri. Makna menurut palmer hanya menyangkut intra bahasa. Sejalan dengan pendapat tersebut, lyon menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda berbeda dari kata-kata lain. Arti dalam hal ini menyangkut makna leksikal yang cenderung di dalam kamus sebagai leksikon.[9]
Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling mengerti. Makna mempunyai tiga tingkat keberadaan, yakni[10];
1.      Pada tingkat pertama, makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan.
2.      Pada tingkat kedua, makna menjadi isi dari suatu kebahasaan.
3.      Pada tingkat ketiga, makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu.
Hubungan antara lafal/bahasa [intra-lingual] dengan sesuatu yang ada di luar bahasa [ekstra-lingual] dikenal dengan teori ‘’semantic triangle’’ [mutsallats al-ma’na], yaitu segitiga bermakna yang menghubungkan antara 3 aspek dasar, yakni[11];
1.      Simbol/kata/signifiant/penanda [dal/alamah] yang terdiri dari bunyi bahasa, tulisan dan sebagainya, seperti kata i dalam kata pensil dan kitab.
2.      Konsep/benak/pikiran/mind [syu’ur/fikrah] yang ada didalam diri manusia ketika memahami simbol/kata.
3.      Acuan/benda/sesuatu/referen/signify/petanda [madlul/musyar ilaih] yang ditunjuk dari simbol tersebut.
Dalam hubungannya dengan ilmu leksikologi, kajian tentang makna sebagai hasil hubungan antara simbol/kata dan benda/acuan, sangat penting untuk dipahami sebagai pengantar. Mengingat bahwa kamus sebagai produk dari leksikologi, maka harus mampu menjelaskan makna yang dihasilkan dari berbagai simbol/kosakata bahasa, baik kata yang memiliki makna referensial maupun non-referensial. Sebuah kamus dinilai lengkap, apabila semua benda/acuan/petanda yang dibutuhkan para penutur bahasa, dapat diketahui melalui pemaparan makna leksikal di dalam kamus[12].

III.            Teknik Menjelaskan Makna
Untuk mengetahui teknik apa yang digunakan dalam suatu teori, maka kami akan menjelaskan beberapa teori yang digunakan dalam menjelaskan makna. Ada 4 teori yang digunakan dalam teknik ini, diantaranya ;
1.      Teori Komponensial
Kajian terhadap medan leksikal, terutama dalam kelas-kelas kata utama [verba, nomina dan adjektiva], selayaknya perlu mendapat perhatian lebih. Alasannya adalah kajian aspek semantik yang bersifat mendasar itu dianggap mampu memperjelas fenomena lahir aspek-aspek kebahasaan yang lebih luas[13].
Teori komponensial sendiri berarti makna kata terdiri dari sejumlah fitur semantik[14]. Pendapat lain juga dikemukakan oleh lehrer, bahwa komponen makna secara teoritis mengkonstruksi masing-masing butir leksikal yang bisa digambarkan dalam kaitan dengan komponen yang  bersangkutan. Komponen makna juga bisa menafsirkan suatu kalimat dengan menyediakan makna pada satuan butir leksikal dan makna gramatikal[15]
Dalam hal terkait dengan Komponensial, nida menyebut tiga prosedur untuk mengklasifikasi leksem, yaitu[16];
1.         Menyatakan ciri bersama
2.         Memisahkan makna yang berbeda dari yang lain
3.         Menentukan dasar untuk kelompoknya
Mengklasifikasi tidak pernah hanya merupakan suatu proses meletakkan rujjukan pada konsep, tetapi hubungan antar makna ditentukan.
Contoh, pada saat mendefinisikan kursi, komponen makna yang kita masukkan adalah berkaki empat, tempat duduk, mempunyai sandaran, dan terbuat dari kayu atau besi. Keempat klasifikasi adalah proses menghubungkan sebuah leksem dengan genusnya, lalu dilanjutkan dengan pembedaan leksem yang diklasifikasi darianggota lain di dalam kelas tertentu dengan membedakan ciri-cirinya.
2.   Teori Referensial.
Makna leksikal secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yakni makna dasar dan makna perluasan, atau denotatif dan makna konotatif. Hubungan antara kata, makna kata, dan dunia kenyataan disebut dengan hubungan refrensial. Hubungan yang referensial tersebut  terdapat antara[17];
1.      Kata sebagai satuan fonologis yang membawa makna
2.      Makna atau konsep yang dibentuk oleh kata
3.      Dunia kenyataan yang ditunjuk[diacu] oleh kata.
Untuk itu, teori referensial berupaya membatasi acuan dengan cara mengklasifikasikan dalam beberapa hal, yaitu[18];
1.      Isim alam, acuan berupa benda tunggal yang telah tertentu yang berada diluar bahasa
2.      Kata kerja, acuan berupa peristiwa yang berada di luar bahasa.
3.      Kata sifat, acuan berupa karakteristik/sifat benda yang berada diluar bahasa.
4.      Ahwal, acuan berupa karakteristik yang terjadi diluar bahasa.
5.      Isim jenis, acuan pada sesuatu yang belum tertentu, seperti kata pohon, berarti semua pohon yang berada yang diacu dan diluar bahasa.
Contoh:
a.       Orang itu menampar orang
1                                                     1
b.      Orang itu menampar dirinya
2
 Pada (1) orang 1 dibedakan maknanya dari orang dua, karna orang1 sebagai pelaku (agentif) dan orang dua sebagai pengalam (yang mengalami makna yang diungkapkan verba), hal tersebut menunjukkan makna katagori yang berbeda tetapi makna referensial mengacu kepada konsep yang sama(orang = manusia). Pada (2) orang memiliki makna referensial yang sama dengan orang1 dan orang2 pada (1) dan pada (2) orang dengan makna katagori yang sama dengan orang1 (agentif).

3.   Teori Konseptual
Teori konseptual adalah teori semantik yang memfokuskan kajian makna pada prinsip-prinsip konsepsi yang ada pada pikiran manusia[19]. Definisi lain juga diungkapkan bahwa teori konseptual adalah makna suatu ungkapan ide atau konsep yang dikaitkan dengan ungkapan itu dalam pikiran orang yang mengetahui ungkapan itu. Teori ini juga memiliki nama lain seperti teori ideasional, teori intensional danteori mentalistik[20].
Leksikon mental, yang sering juga dinamakan kamus mental, mempunyai sistem yang memungkinkan kita untuk meretrif kembali kata-kata secara cepat. Meskipun leksikon mental mempunyai persamaan dengan kamus biasa, yakni kamus yang berupa buku[21].
Kamus mental dan kamus buku memang mempunyai kesamaan, akan tetapi  memiliki perbedaan. Diantara perbedaan tersebut seperti, kamus biasa juga tidak menyebutkan bahwa makna merupakan jaringan [network] antara satu konsep dengan konsep yang lain. Tidak akan ada dalam kamus biasa informasi yang mengaitkan kata bunga mawar dengan mobil pemadam kebakaran, karena dari segi ilmu perkamusan, kedua benda ini tidak langsung memiliki fitur yang sama. Akan tetapi dalam leksikon mental kita, begitu kita mendengar kata mawar maka di samping fitur-fitur seperti harum, cantik, berduri muncul pula warna, yang salah satu kemungkinannya adalah merah. Dengan demikian kalau suatu hari kita melihat mobil kebakaran yang berwarna kuning, misalnya, maka kita bisa nyeletuk,
‘’lihat tuh pemadam golkar.’’
Atau kalimat aneh lainnya. Munculnya kalimat ini dipicu kenyataan bahwa leksikon mental kita tidak hanya memiliki fitur warna merah saja tetapi juga kaitannya dengan warna mobil kebakaran.[22]
Kata kuda memiliki makna konseptual sejenis binatang berkaki empat yang dapat dikendarai. Jadi, sesungguhnya makna konseptual sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, makna referensial. Makna konseptual ini bersifat logis, kognitif, atau denotatif. Makna asosiatif yang dibagi lagi atas makna konotatif yakni makna yang muncul dibalik makna kogntif[23].
4.      Nadzariyah Sulukiyah (Teori Behavioris)
Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang diperkenalkan oleh John B. Watson (1878-1958), seorang ahli psikologi berkebangsaan Amerika. Teori Behavioris mengatakan bahwa suatu ungkapan ialah rangsangan (matsir) yang menimbulkannya, atau respon (istijab) yang ditimbulkannya, atau kombinasi dari rangsangan dan respon, pada waktu pengungkapan kalimat itu.[24]
Misalnya, sebuah kisah tentang sepasang suami-istri yang sedang berjalan di hutan. Di tengah perjalanan, si istri melihat buah apel, lalu ia berkata:”Aku Lapar”. Suaminya mendengar perkataan itu, lalu ia memanjatkan pohon apel dan memetik sebuah apel. Setelah itu ia memberikan buah apel kepada istrinya agar dimakan.
Dengan adanya teori ini, lingkungan mempunyai andil besar untuk menghasilkan sebuah makna. Akan tetapi, teori ini masih memiliki banyak kelemahan diantaranya:[25]
a.       Keterbatasan mengungkapkan stimulus yang sifatnya tidak jelas kedalam bahasa agar dipahami oleh orang lain. Contonya, ungkapan cinta, benci, rindu dan sebagainya
b.      Kemungkinan adanya beberapa stimulus dibalik sebuah ungkapan. Contohnya, ungkapan aku lapar
c.       Kemungkinan adanya beberapa respon untuk satu ungkapan. Contohnya, ungkapan kata lapar, kemungkinan kita bisa meresponnya dengan cara yang berbeda.

5.      Nadzariyah Siyaqiyah (teori Kontekstual)
Teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan semantik bandingan antarbahasa. Teori kontekstual mengisyaratkan bahwa suatu kata atau simbol ujaran tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks. Walaupun demikian, ada pakar semantik yang berpendapat bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kedua kata itu baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Dalam kenyataannya, kata itu tidak akan terlepas dari konteks pemakaiannya.[26]
Menurut teori ini, cara untuk memahami makna bukan dengan melihat, mendeskripsikan, atau mendefinisikan suatu benda. Akan tetapi, makna dipahami melalui konteks kebahasaan yang digunakan dan konteks situasi-kondisi pada saat ungkapan itu terjadi.[27]
Konteks menuryt bahasa berarti kesesuaian dan hubungan. Disini, konteks berarti lingkungan kebahasaan (intra-lingual) dan luar-kebahasaan (ekstra-lingual) yang meliputi wacana dan mengungkapkan maknanya.[28]
a.       Konteks Bahasa (Siyaq Lughawi)
Yaitu, lengkungan kebahasaan (intra-lingual) yang mencakup bagian-bagian bahasa seperti: kosakata, kalimat dan wacana. Unsur-unsur intra-lingual dibedakan menjadi empat aspek, yaitu:[29]
1)      Struktur fonem (Tarkib Shauti)
Yaitu konteks/kesesuaian fonemik yang membentuk makna. Misalnya, kalimat نام الولد (anak itu tidur). Dari aspek fonemik, kedua kata yang membentuk kalimat ini dapat dibatasi maknanya berdasarkan fonem sehingga makna ungkapan ini bisa dibedakan dengan ungkapan lain.
2)      Struktur Morfologis (Tarkib Sharfi)
Yaitu perubahan struktur morfem pada sebuah kata, juga dapat mengubah makna. Morfem kata الولد pada contoh نام الولد adalah kata benda tinggal, mudzakkar, marfu’. Kata الولد tidak sama dengan الولدان dan sebagainya, sebab masing-masing makna memiliki konteks berbeda.
3)      Struktur Sintaksis (Tarkib Nahwi)
Yaitu, struktur sintaksis dibedakan menjadi dua macam; makna sintaksis umum dan makna sintaksis khusus. Makna sintaksis umum adalah makna gramatikal secara umum yang dapat dipahami dari sebuah kalimat/ungkapan. Misalnya, أحمد سافر (ahmad pergi). Sedangkan makna sintaksis khusus adalah makna gramatikal khusus yang dipahami melalui kedudukan kata dalam kalimat. Misalnya, الولد نام makna sintaksis khusus dari الولد adalah sebagai fa’il/subyek.
4)      Struktur Leksikal (Tarkib Mu’jami)
Yaitu, hal yang berkaitan dengan kosakata kamus (leksim) dan karakteristik bidang makna pada kata/leksem tersebut. Leksem نام akan berbeda maknanya dengan leksem صحا
5)      Unsur Idiomatik (Mushahabah)
Yaitu, keberadaan makna sebuah kata/leksem masih tergantung dengan kata lain yang selalu menyertainya. Disebut juga dengan idiom. Misalnya, kata أنف berarti ‘hidung’, bisa berubah makna ketika kata أنف beridiom dengan kata lain. Contoh: أنف القوم (pemimpin kaum)
6)      Unsur Pragmatik (Uslub)
Yaitu, perbedaan unsur gaya bahasa yang berada dalam wacana dapat memberi arti sebuah ungkapan. Contoh: زيد كثير الرماد (zaid seorang dermawan)
b.      Konteks Situasi-Kondisi (Siyaq mauqif-hal)
Unit-unit yang ada di dalam sebuah ungkapan kalimat (bahasa) bukan sekedar susunan kata. Lebih dari itu, unit intra lingual juga berhubungan dengan unit ekstra lingual.
Makna leksikal tidak bisa mencakup makna utuh sebuah ungkapan, sebab unsur lain diluar bahasa juga memberi andil besar dalam memahami makna. Misalnya unsur kepribadian penutur, pribadi pendengar, situasi dan kondisi saat ungakapan terjadi. Semua turut mempengaruhi makna sebuah ungkapan.
Aspeks konteks yang perlu dipertimbangkan dalam memahami makna, antara lain:[30]
1)      Bahasa Perbuatan (al-kalam al-fi’li)
Pristiwa/situasi pada saat terjadinya ungkapan
2)      Karakter Penutur Bahasa (thabi’ah al-mutahadditsin)
Sifat-sifat yang dimiliki penutur saat ungkapan terjadi. Misalnya, pembicaraan anak kepada orang tua, majikan kepada pembantu, dan sebagainya.
3)      Karakter tema pembicaraan (thabi’ah al-asyya)
Tema pembicaraan yang sedang berlangsung.
4)      Aksi/Situasi Bahasa (al-af’al al mushahabah li al-kalam)
Aksi/sikap penutur disaat ungkapan bahasa berlangsung, apakah ia sedang marah? bercanda? dan seterusnya.
5)      Waktu pembicaraan (zaman al-kalam)
Waktu berlangsungnya pembicaraan, apakah di pagi hari? Siang? Malam? dan seterusnya.
c.       Konteks Sosial-Budaya (siyaq tsaqafi-ijtima’i)
Situasi social atau budaya pada saat ungkapan bahasa terjadi. Makna sebuah ungkapan dapat berubah karena perbedaan aspek budaya dan social. Misalnya, kata جزد bagi ahli tumbuhan bermakna “benih”, bagi ahli bahasa “asal kata”, ahli matematika “akar pangkat”.[31]























KESIMPULAN

Menentukan makna memanglah sangat sulit  karena makna sendiri selalu berubah tergantung unsur yang menempel dalam kata/kalimat tersebut. Akan tetapi, ada cara atau teori yang mana bisa memberi kemudahan dalam menentukan makna. Selanjutnya, dari teori tersebut bisa diharapkan menemukan teknik untuk menentukan secara tepat supaya lebih efektif dalam memahami ujaran atau tulisan seseorang. Diantara teori-teori tersbut adalah;
1.      Teori kentekstual
2.      Teori referensial
3.      Teori komponensial
4.      Teori behavioris
5.      Teori konseptual
Dari teori-teori di atas, tentu memiliki spesifikasi yang berbeda-beda tergantung masalah yang dihadapi. Untuk lebih manfaatnya, kita harus bisa mengidentifikasi masalah yang kita hadapi, kemudian kita bisa menentukan teori mana yang cocok dengan masalah kita.















DAFTAR PUSTAKA

1.      Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik; Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. [Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012]
2.      Taufiqurrochman. Leksikologi Bahasa Arab. [Malang: UIN Malang Press,2008]
3.      Rianto, Milan. Pendekatan Strategi Dan Metode Pembelajaran. [Malang; Pusat Pengembangan dan Penataran Guru IPS dan PMP Malang, 2006]
4.      Parera, Jos Daniel. Linguistik Edukasional: Metodologi Pembelajaran Bahasa, Analisis Konstrastif Antar Bahasa, Analisis Kesalahan Berbahasa.. (Jakarta: Erlangga. 1997)
5.      Santoso, sukrisno. Resume Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra Karya  Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna. (yogyakarta:pustaka pelajar. 2008)
6.      Parera, J.D. Teori Semanti Edisi Kedua, (Jakarta: Erlangga, 2004)
7.      Hidayatullah, M. Syarif. Cakrawala Linguistik Arab. [Tangerang Selatan; Alkitabah. 2012].
8.      Matsna, Muhammad . Orientasi Semantik Al-Zamakhsyari  (Jakarta:Anglimedi, 2006)
9.      Ginanjar, Bakdal. Edi subroto dan Sumarlam. Dimensi Komponen Makna Medan Leksikal Verba Bahasa Indonesia Yang Berciri [Tindakan, Kepala, dan Manusia]. Transling journal; translation and linguisticd vol. 1, no 1 januari 2013


[1] Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik; Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. [Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012] H. 16
[2] Taufiqurrochman. Leksikologi Bahasa Arab. [Malang: UIN Malang Press,2008] H. 66
[3] Taufiqurrochman. Leksikologi Bahasa Arab. H. 66
[4] Rianto, Milan. Pendekatan Strategi Dan Metode Pembelajaran. [Malang; Pusat Pengembangan dan Penataran Guru IPS dan PMP Malang, 2006] H. 7
[5]Parera, Jos Daniel. Linguistik Edukasional: Metodologi Pembelajaran Bahasa, Analisis Konstrastif Antar Bahasa, Analisis Kesalahan Berbahasa.. (Jakarta: Erlangga. 1997) H.47
[6] Santoso, sukrisno. Resume Teori, metode dan teknik penelitian sastra karya  Prof. Dr. nyoman kutha Ratna. (yogyakarta:pustaka pelajar. 2008)
[7] Rianto, Milan. Pendekatan Strategi Dan Metode Pembelajaran. H. 4-7
[8]Taufiqurrochman. Leksikologi Bahasa Arab. H.24
[9] Djajasudarma, fatimah. Semantik 1; Makna Leksikal Dan Gramatikal. [Bandung:Refika Aditama. 2012] H. 7
[10]Djajasudarma, fatimah. Semantik 1; Makna Leksikal Dan Gramatikal. H. 8
[11]Taufiqurrochman. Leksikologi Bahasa Arab. 25
[12] Taufiqurrochman. Leksikologi Bahasa Arab. 26
[13] Ginanjar, bakdal. Edi subroto dan Sumarlam. Dimensi Komponen Makna Medan Leksikal Verba Bahasa Indonesia Yang Berciri [Tindakan, Kepala, dan Manusia]. Transling journal; translation and linguisticd vol. 1, no 1 januari 2013. H. 65
[14] Sukamto, katharina Endrianti. Fungsi Itu Pada Awal Tuturan. [Englonesian, jurnal ilmiah linguistik dan sastra vol. 1 no. 1 Mei 2005
[15] Hidayatullah, M. Syarif. Cakrawala Linguistik Arab. [Tangerang Selatan; Alkitabah. 2012] H.119
[16] Hidayatullah, M. Syarif. Cakrawala Linguistik Arab.  H.121
[17] Djajasudarma, Fatimah. Semantik 1; Makna Leksikal Dan Gramatikal. H. 38
[18] Taufiqurrochman. Leksikologi Bahasa Arab. H. 39
[19] Matsna, Muhammad . Orientasi Semantik Al-Zamakhsyari  (Jakarta:Anglimedi, 2006) H. 20
[20] Taufiqurrochman. Leksikologi Bahasa Arab. [malang; uin malang press,2008] h. 40
[21] Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik; Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. H. 163
[22] Dardjowidjojo, soenjono. Psikolinguistik; Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. H. 164    
[23] Matsna, Muhammad . Orientasi Semantik Al-Zamakhsyari  hal 17
[24] Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab.  H.42
[25] Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab. H. 43
[26] J.D. Parera, Teori Semanti Edisi Kedua, (Jakarta: Erlangga, 2004), H. 46.
[27] Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, H. 44
[28] Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, H. 45
[29] Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, H. 45
[30] Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, H. 49
[31] Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, H.. 50