Oleh: Septa Nuril Fahmi
I.
SOEKARNO
A.
Ideologi.
Soekarno adalah salah satu tokoh penting bahkan utama dalam
pemikiran dan perjuangan Indonesia. Sejak awal gagasan yang ia bawa adalah
semangat nasionalisme untuk melepaskan diri dari kolonialisme Belanda. Menurut Soekarno,
seorang nasionalis sejati adalah orang yang bersedia berbakti dan memperbaiki
nasib kaum kecil dari segala bentuk kemelaratan serta melindungi rakyat dari
penindasan.
Konstruksi nasionalisme Soekarno tercipta melalui beberapa factor,
diantaranya:
1.
Riwayat
kehidupannya.
Soekarno adalah pribadi sintesis yaitu perpaduan keturunan Jawa-Bali
(Raden Soekemi & Ida Ayu Nyoman). Kemudian, Soekarno diasuh kakeknya yang
berada di Tulungagung. Di sini, Soekarno mulai mengenal dunia pewayangan yang
diperkenalkan oleh kakeknya sendiri. Pewayangan sendiri bagi masyarakat Jawa bukan
sekedar tontonan belaka, namun mempunyai makna dan ajaran yang tersirat dari
tontonan tersebut. Soekarno mulai mengagumi Bima, salah satu tokoh dari cerita Pandawa
Lima yang selalu gigih dan berani dalam membela kebenaran, dikehidupan nyata ia
terobsesi ingin menjadi seperti dirinya yang melawan kolonialisme.
2.
Lingkungan.
Soekarno muda tinggal bersama Oemar Said Tjokroaminoto, pendiri Syarikat
Islam di Surabaya dan sekolah di Hoogere Burger School. Di sini ia bertemu para
tokoh besar dari berbagai latar
pemikiran yang berbeda, diantaranya tokoh dari Organisasi Social Democrat
Hindia-Belanda sampai semaun, Muso, Tan Malaka, Ahmad Dahlan, Agus Salim dan Douwes
Dekker. Mereka semua menjadi teman akrab diskusi Soekarno, sehingga soekarno
mengenal tokoh-tokoh besar dunia ketika itu. Diantara tokoh-tokoh tersebut, Soekarno
sangat tertarik denga Marxis (historis materialisme).
B.
Soekarno
dan islam.
Soekarno kecil memang jarang mendapatkan pelajaran agama baik
formal maupun informal. Ia dilahirkan dari keluarga yang tak membaca alquran sebagai
bagian kehidupan sehari-hari. Secara fakta, memanglah dia beraliran nasionalis,
akan tetapi tidak menutup kemungkinan ia juga dipengaruhi oleh pemikiran islam
meskipun sebagian sejarawan menyebut Soekarno sebagai nasionalis-sekuler, yang
mana selalu kontras dengan nasionalis-islam.
Pemikiran Islam yang diberikan Soekarno memiliki konsep yang
menarik, yakni bagaimana ia mengaitkan islam dengan kondisi bangsa saat itu.
Menurut sokarno, islam adalah sebuah agama yang sederhana, rasional, dan
mengandung gagasan kemajuan dan egaliter. Agama yang rasional ia bercermin pada
aliran mu’tazillah, yang mana pada zaman ini islam mengalami progress karena
kebebasan berfikir dan kesederhanaan yang dianggap sokarno bahwasanya ia
melihat pola dasar tradisional Indonesia yang menginginkan persatuan.
II.
NU DAN PERGERAKANNYA
Sebelum mengenal NU, Soekarno cenderung meremehkan Orang Islam pesanren yang dianggapnya kolot,
karena ketika itu ia lebih terpengaruh dengan pemikiran para tokoh Islam dunia
tenimbang local. Hal ini bias menjadi sebagai bukti sebuah pergerakan NU ketika
itu sangat besar karena mampu merubah pandangan Soekarno yang tadinya dianggap
mengenyampingkan pemikiran islam local menjadi lebih respect.
Komunitas NU sering disebut sebagai komunitas tradisionalis yang
dapat terlihat secara visual adalah ritual kegamaan. NU lebih cenderung
mengakomodir adat-istiadat dan budaya masyarakat local.Berdirinya NU juga berdasarkan kekhawatiran
dari para pemuka agama islam melihat perkembangan masyarakat Indonesia,
khususnya di jawa dalam menghadapi kolonialisme belanda serta perkembangan
islam di Arab Saudi yang mulai dipengaruhi oleh faham wahabi, yang tentu sangat
bertentangan dengan pemahaman NU yang kekeuh mempertahankan adat-istiadatnya.
Selain itu juga atas dasar runtuhnya kekhalifahan turki, timbul dan
tenggelamnya gagasan pan islamisme, dan pertentangan diantara para penganut
aliran Islam di Indonesia
NU sendiri memiliki faham yang sedari awal
dicanangkan yakni sosial-keagamaan. Hal ini terbukti dari adanya komite hijaz
untuk memperjuangkan islam ahlussunnah wal jamaah dalam menjalankan ritual
keagamaan.
Nasionalisme NU yang berbasis utama pada
ajaran islam mendorongnya tidak hanya bergerak di bidang sosial-keagamaan,
tetapi dalam perjalanannya juga ikut terlibat aktif dalam pergulatan
masalah-masalah kebangsaan. Peran dan gerakan politik NU ini muncul sebagai
respon terhadap perubahan dan perkembangan kondisi saat itu khususnya
memperjuangkan masa depan umat Islam. Berikut beberapa peran dan pergerakan NU
dalam perkembangan indonesia:
a) Terjun ke dunia politik
NU dalam menghadapi kolonialisasi melakukan aliansi terhadap kelompok lain
yang satu visi. Orientasi politik NU lebih tampak dalam wadah MIAI (Majlis
Islam A’la Indonesia/cikal bakal masyumi) tahun 1937. Keterlibatan ini membawa
aksentuasi dari keagamaan dan sosial ke persoalan politik.
Selain berada di barisan para petani untuk memperjuangkan nasib mereka, NU
juga bersikap tegas dalam hal keagamaan khususnya menentang campur tangan
belanda dalam urusan keagamaaan (Agama Islam).
b) Melakukan propaganda
Melalui MIAI, jepang telah melakukan propaganda tentang melipatgandakan
hasil pertanian. Sadar akan hal itu, beberapa pemuda seperti wahid hasyim,
soekiman, ghafar ismail dan faqih usman melakukan tindakan yang mengambil
keuntungan dari propaganda tersebut, sehingga keuntungan tidak hanya untuk
jepang belaka melainkan untuk muslimin dan fakir miskin melalui baitul mal.
c) Gagasan menjadi sebuah negara.
NU adalah salah satu kelompok penting dalam perjuangan menuju Indonesia
merdeka. Ketika itu, NU mengadakan diskusi dalam sanyo kaigi[1],
dimana kekalahan jepang sudah diambang pintu. Jepang kemudian membentuk BUPPKI, dari NU sendiri diwakili
oleh KH. Masykur dan KH. Wahid Hasyim.
d) Mencetuskan resolusi jihad
Tiga minggu sebelum peperangan besar di surabaya pada tanggal 10 November
NU mencetuskan resolusi jihad, yang mana mengajak umat islam menentang aksi
pendudukan tentara sekutu. Resolusi ini bisa diartikan sebagai perang suci atas
aksi NICA dan Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia.
III.
TITIK TEMU SOEKARNO dan NU
“Awal yang berbeda tidak menutup kemungkinan
bertemu di akhir kemudian.” Kata-kata ini dirasa pas untuk menggambar NU dan
soekarno karena latar belakang mereka yang berbeda antara nasionalis dan
agamis, namun bisa mempunyai titik temu terutama dalam hal kebangsaan. Berikut
titik temu antara NU-Soekarno berdasarkan sejarah :
a. Nasionalisme dan sosialisme
Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwasanya
soekarno cenderung berfikir nasionalis ala marxis yang mana selalu
memperjuangkan rakyat kecil untuk melawan para pembesar dalam hal ini adalah
pemerintah kolonial belanda. Hal ini juga sejalan dengan NU, memang pada
awalnya NU hanya bergerak pada hal-hal keagamaan saja, namun seiring
berjalannya waktu, NU mulai beralih ke masalah kebangsaan dalam hal ini
politik. Melalui MIAI, NU melakukan pergerakannya di bidang politik yang
membela kaum tani yang saat itu di bawah kendali kolonial. Nasionalisme yang
dikumandangkan bung karno juga di kumandangkan oleh NU. NU melakukan beberapa
aliansi dengan berbagai kelompok untuk mempersatukan visi menuju indonesia
merdeka, seperti pada acara diskusi kebangsaan pada sanyo kaigi dan
dkonstruksi ulang Piagam Jakarta yang mana lebih identik dengan muslim dan
mngenyampingkan non-Islam, kemudian menjadi pancasila.
b. Pancasila
Pancasila sebagai dasar Negara sudah tidak bias di ganggu gugat
lagi. Indonesia dengan kondisi masyarakatnya yang majemuk dan beragam
sangat pas menggunakan pancasila. Pancasila juga mencerminkan kebudayaan kita
sebagai bangsa Indonesia. Soekarno memang dari awal sudah berfikiran
pancasialis, bias di buktikan dengan perjuangannanya yang ingin mempersatukan
bangsa ini dengan berbagai golongan, ras, agama, dan suku. Begitu juga dengan
Nu. NU yang awalnya bergerak di bidang keagamaan, dalam perjalanannya mengalami
perubahan pandangan karena NU sadar bahwasanya bangsa Indonesia memiliki
kondisi social yang unik dan memiliki keterikatan sejarah yang mengikat yang
tidak bias dipisahkan satu sama lain. Dari sini NU mulai memperjuangkan
kedamaian melalui keberagaman bangsa. Bias dibuktikan pada muktamar ke-27 1984
yang intinya kembali ke khittah.
*sumber:
Amir, Zainal Abidin. Soekarno dan NU; Titik Temu Nasionalisme.( Yogyakarta:
Lkis. 2013).
0 komentar :
Posting Komentar