Minggu, 09 November 2014




Gelar pahlawan memang mudah disematkan kepada orang-orang yang berjasa besar. Akan tetapi, kebanyakan orang tidak melihat sisi negatif  yang pernah dilakukan, bahkan cenderung untuk menafikan keburukan itu demi gelar pahlawan untuk orang yang diagung-agungkan.
Menurut peraturan Kementerian Sosial tentang Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional Nomor 15 Tahun 2012, bahwasanya gelar yang disematkan kepada para pahlawan itu diberikan presiden kepada seseorang yang telah gugur atau meninggal dunia atas perjuangan, pengabdian, darmabakti, dan karya yang luar biasa kepada bangsa dan negara.
Bahkan selain gelar yang diberikan, kesejahteraan pun diberikan pemerintah untuk keluarga yang ditinggalkan. Uang yang diberikan berkisar antara 1,5 juta – 2,6 juta  perbulan tergantung dari jenis kepahlawanan yang diberikan untuk bangsa, apakah pahlawan perintis kemerdekaan atau pahlawan nasional. Uang tersebut belum termasuk dana kesehatan yang mencapai 3 juta perbulan.
Kebijakan ini tentu sebagai bukti bahwa pesan Soekarno untuk bangsa ini telah tersampaikan. Isi pesan itu adalah jangan sekali-kali melupakan sejarah atau yang biasa kita kenal dengan sebutan JASMERAH. Kebijakan tersebut juga membawa angin segar kepada para keluarga yang ditinggalkan karena merasa dihargai atas apa  yang para pahlawan berikan untuk bangsa ini.
Pro dan Kontra.
Pada tahun 2008, ketika presiden ke-2 RI, Jenderal Soeharto meninggal dunia, ada wacana pemberian gelar kepahlawanan. Namun, di kalangan masyarakat terjadi pro dan kontra karena berbagai alasan, mulai dari berkontribusi besar bagi bangsa yang dinilai pantas untuk mendapatkannya, sampai kebijakan semasa hidupnya dan gaya hidup sang presiden yang dinilai tak pantas untuk mendapatkan gelar tersebut.
Faktanya, pemerintah saat itu lebih memutuskan Alm. Jenderal Soeharto mendapatkan gelar tersebut karena dinilai dari sisi kontribusinya yang besar untuk Negara. Indonesia dibawah rezim soeharto memang mengalami perkembangan pesat khususnya di bidang infrastruktur Negara. Namun, infrastruktur yang berkembang sebagian besar masih berkutat di pulau jawa saja. Hal ini yang kadang membuat pulau-pulau lain di Indonesia dirasa tidak adil sehingga menuntut sang presiden. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan yang dinilai otoriter, salah satunya dalam hal kebebasan berpendapat di muka umum.
Kasus tersebut sedikit memberikan gambaran kepada kita, bahwa pemerintah ketika itu sangat sedikit sekali memberikan standarisasi kepahlawanan kepada seseorang yang dianggap pahlawan. Nilai-nilai negatif yang ditimbulkan tidaklah menjadi acuan dan lebih memandang kontribusi yang besar untuk bangsa meskipun factor politik saat itu juga bias menjadi pembeda.
Standarisasi Resmi
Pada tahun 2012 muncul regulasi resmi yang baru mengenai pengusulan gelar pahlawan oleh kemensos. Melalui Peraturan Nomor 15 Tahun 2012 ini, gelar pahlawan lebih diperketat, tidak asal dan sepihak  karena harus melalui beberapa prosedur yang sudah ditetapkan.
Pertama, seseorang yang ingin mendapatkan gelar pahlawan harus  melewati fase administrasi ke instansi terkait dalam hal ini kemensos dan juga dilampirkan dokumen/foto-foto kepahlawanan, daftar bukti tanda kehormatan dan lain sebagainya. Kedua, perlu diuji dan dipublikasikan oleh pengusul kepada masyarakat melalui seminar, diskusi atau sarasehan. Ketiga, tim peneliti dan pengkaji gelar tingkat pusat (TP2GP) akan memberikan pertimbangan kepada kemensos .
Regulasi ini tentu menjadi acuan bagi siapa saja yang menginginkan gelar pahlawan bagi orang yang diusulkan. Di dalam peraturan ini juga telah mengakomodir pendapat masyarakat dalam penentuan gelar selain kontribusi nyata yang telah diberikan calon pahlawan tersebut.

0 komentar :

Posting Komentar