Gelar pahlawan memang mudah
disematkan kepada orang-orang yang berjasa besar. Akan tetapi, kebanyakan orang
tidak melihat sisi negatif yang
pernah dilakukan, bahkan cenderung untuk menafikan keburukan itu demi gelar
pahlawan untuk orang yang diagung-agungkan.
Menurut peraturan Kementerian Sosial tentang Pengusulan
Gelar Pahlawan Nasional Nomor 15 Tahun 2012, bahwasanya gelar yang disematkan
kepada para pahlawan itu diberikan presiden kepada seseorang yang
telah gugur atau meninggal dunia atas perjuangan, pengabdian, darmabakti, dan
karya yang luar biasa kepada bangsa dan negara.
Bahkan selain gelar yang diberikan, kesejahteraan pun diberikan
pemerintah untuk keluarga yang ditinggalkan. Uang yang diberikan berkisar
antara 1,5 juta – 2,6 juta perbulan
tergantung dari jenis kepahlawanan yang diberikan untuk bangsa, apakah pahlawan perintis kemerdekaan atau
pahlawan nasional. Uang tersebut
belum termasuk dana kesehatan yang mencapai 3 juta perbulan.
Kebijakan ini tentu sebagai bukti bahwa pesan Soekarno
untuk bangsa ini telah tersampaikan. Isi pesan itu adalah jangan sekali-kali
melupakan sejarah atau yang biasa kita kenal dengan sebutan JASMERAH. Kebijakan tersebut juga membawa angin segar kepada para keluarga yang
ditinggalkan karena merasa dihargai atas apa yang para pahlawan berikan
untuk bangsa ini.
Pro dan Kontra.
Pada tahun 2008, ketika presiden ke-2 RI, Jenderal Soeharto
meninggal dunia, ada wacana pemberian gelar kepahlawanan. Namun, di kalangan masyarakat terjadi pro dan kontra karena berbagai alasan, mulai dari berkontribusi besar bagi bangsa yang
dinilai pantas untuk mendapatkannya, sampai kebijakan semasa hidupnya dan gaya hidup
sang presiden yang dinilai tak pantas untuk mendapatkan gelar tersebut.
Faktanya, pemerintah saat itu lebih memutuskan Alm. Jenderal
Soeharto mendapatkan gelar tersebut karena dinilai dari sisi kontribusinya yang
besar untuk Negara. Indonesia dibawah rezim soeharto memang mengalami
perkembangan pesat khususnya di bidang
infrastruktur Negara. Namun, infrastruktur yang berkembang sebagian besar masih
berkutat di pulau jawa saja. Hal ini yang kadang membuat pulau-pulau lain di
Indonesia dirasa tidak adil sehingga menuntut sang presiden. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
yang dinilai otoriter, salah satunya dalam hal kebebasan berpendapat di muka
umum.
Kasus tersebut sedikit memberikan gambaran kepada kita, bahwa
pemerintah ketika itu sangat sedikit sekali memberikan standarisasi
kepahlawanan kepada seseorang yang dianggap pahlawan. Nilai-nilai negatif yang
ditimbulkan tidaklah menjadi acuan dan lebih memandang kontribusi yang besar
untuk bangsa meskipun factor politik saat itu juga bias menjadi pembeda.
Standarisasi
Resmi
Pada tahun 2012 muncul regulasi resmi yang baru mengenai pengusulan
gelar pahlawan oleh kemensos. Melalui Peraturan Nomor 15 Tahun 2012 ini, gelar pahlawan lebih diperketat, tidak
asal dan sepihak karena
harus melalui beberapa prosedur yang sudah ditetapkan.
Pertama, seseorang yang ingin mendapatkan gelar pahlawan harus melewati fase administrasi ke instansi terkait dalam hal ini kemensos dan
juga dilampirkan dokumen/foto-foto kepahlawanan, daftar bukti
tanda kehormatan dan lain sebagainya. Kedua, perlu diuji dan dipublikasikan
oleh pengusul kepada masyarakat melalui seminar, diskusi atau sarasehan.
Ketiga, tim peneliti dan pengkaji gelar tingkat pusat (TP2GP) akan memberikan
pertimbangan kepada kemensos .
Regulasi ini tentu menjadi acuan bagi siapa
saja yang menginginkan gelar pahlawan bagi orang yang diusulkan. Di dalam
peraturan ini juga telah mengakomodir pendapat masyarakat dalam penentuan gelar
selain kontribusi nyata yang telah diberikan calon pahlawan tersebut.
0 komentar :
Posting Komentar