Senin, 20 Oktober 2014

Oleh : Septa Nuril Fahmi*
       I.           I.  Latar belakang lahirnya filsafat metafisika
Setelah ribuan tahun berjaya, metafisika mendapatkan tantangan keras dari para filosof modern. Para filosof modern yang dibesarkan dalam atmosfer ilmu alam, seperti David Hume, francis bacon, rene descartes, dan immanuel kant merasa gerah terhadap fokus filsafat barat yang sangat spekulatif-kontemplatif mencari-cari hakikat realitas sehingga tak menyumbang apa-apa bagi kepentingan umat manusia.
Pada dasarnya mereka sepakat bahwa spekulasi terhadap realitas ultim harus dihentikan dan sebagai gantinya adalah pendekatan yang empiris terhadap realitas yang semata mencari hukum-hukum alam yang tetap dan universal.
Kumandang kematian metafisika inilah yang kemudian membawa peradaban barat pada pandangan dunia materialisme-mekanis yang memang menghasilkan kemajuan sains dan teknologi yang cukup pesat. Kemajuan yang disinyalir Rosseau, tidak menjamin kemajuan kemajuan kesejahteraan manusia dan malah justru menjauhkan manusia dari kondisi alamiahnya. Seperti halnya, kemajuan teknologi telah menempatkan manusia sebagai objek dan bukan subjek pekerjaannya, kapitalisme yang menundukkan manusia dalam mekanisme pasar, dan lain sebagainya.
Pandangan dunia materialisme terhadap kehidupan kemudian disadari memiliki banyak kelemahan. Seperti yang dikemukakan Berger dalam bukunya Toward A Critique Of Modernity, diantaranya:
1.      Abstraksi
2.      Futurisasi
3.      Individuasi
4.      Deliberasi
5.      sekularisasi
Ditengah pertarungan antara filosof yang menganut materialisme dan yang menentangnya, telah mengantarkan dunia islam melahirkan seorang filosof-penyair yakni Muhammad Iqbal (1873-1938).

    II.           II.  Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal berbeda dengan kalangan intelektual islam lainnya yang menanggapi pemikiran barat dengan fundamentalisme anti-barat penuh dengan sumpah serapah emosional. Muhammad Iqbal selalu inklusif yang menanggapi pemikiran barat secara argumentatif dan selain itu ia juga melakukan apropriasi[1] terhadap teks-teks pemikiran barat yang kemudian menghasilkan pergeseran keyakinan dari panteisme yang menolak ego ke eksistensialisme yang menekankan kehendak kreatif.
Muhammad Iqbal lahir di sialkot, panjab (India) 22 februari 1873 dan mendapatkan pendidikan pertama kali dari ulama besar bernama Mir Hassan. Kemudian Iqbal belajar kepada Sir Thomas Arnold yang memperkenalkannya dengan khazanah filsafat barat. Berkat dorongannya pula Iqbal berangkat ke inggris untuk mempelajari filsafat barat dengan lebih di universitas cambridge di bawah bimbingan filosof neo-hegelian Dr. Mc. Taggart. Dari inggris Iqbal menuju jerman dan mengambil doktor filsafat di universitas munich dengan desertasi berjudul: the development of metaphysics in persia.
Berkat ketekunannya di bidang filsafat, anak dari pasangan syaikh nur muhammad dan imam bibi pun muncul sebagai sosok filosof yang disegani baik di kalangan barat maupun islam sendiri
Selain seorang yang ahli di bidang filsafat, Iqbal adalah seorang penyair. Di usianya yang menginjak 22 tahun,reputasi kepenyairan Iqbal sudah menjadi sorotan publik. Pada pertemuan tahunan Anjuman I Himayat I Islam, Iqbal mencatat sukses berkat lantunan puisinya berjudul Naala Yatim pada tahun 1900.

 III.        III.     Filosof-filosof yang mempengaruhi pemikiran Iqbal
Untuk lebih memahami pemikiran Iqbal, ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu pemikiran-pemikiran barat yang mempengaruhi Iqbal. Diantara yang mempengaruhi Iqbal adalah thomas aquinas, bergson, Nietszche, hegel, white head berkeley, dan lain-lain.
Namun, dari sekian banyak filosof yang mempengaruhinya, Nietszche dan bergsonlah yang paling banyak mempengaruhi Iqbal.
a.       Friedrich Nietszche
Filsafat Nietszche adalah kehendak untuk penguasaan. Konsep ini berkaitan erat dengan lebenphi-losophie tentang hidup. Tradisi lebenphi-losophie memandang hidup bukan sebagai proses biologis, melainkan sebagai suatu yang mengalir, meretas, dan tidak tunduk pada apapun yang mematikan gerak hidup.
Sebagaimana kalangan terpelajar lainnya waktu itu, Iqbal terpengaruh pula oleh gagasannya tentang kehendak untuk penguasaan dalam bukunya Der Wille Zur Macht. Iqbal melegitimasi pandangannya itu dengan menyebut ali al hujwiri dan abu ‘ala al ma’ari, para sufi yang menekankan aspek sifat kekuatan ilahi {qahr} sebagai kebaikan.
Hal ini tampak jelas dalam catatan refleksinya 1910, tulisannya, “kekuatan itu lebih ilahiah dibandingkan kebenaran. Tuhan adalah kekuatan. Maka jadilah engkau sepertim bapamu di surga”.
b.      Henry Bergson (1859-1941)
Dialah tokoh yang bias di bilang paling berpengaruh terhadap pemikiran Iqbal, khususnya soal intuisi dan elan vital[2]. Bergson mengemukakan adanya dua cara pengenalan yaitu analisis dan intuisi. Analisis adalah aktivitas intelektual yang mengenali objek dengan observasi bergerak mengitari objek atau dengan memisahkan konstituen objek kajiannya. Kelemahan dari analisis adalah kita memposisikan objek sebagai benda mati. Seperti menganalisis bunga dilakukan dengan memilah-milahnya (kelopak, putik sari, tangkai dsb.) dan dengan itu kita tidak melihat bunga sebagai benda hidup yang ada di taman.
Intuisi, menurut Bergson adalah semacam rasio simpati yang mana subjek peneliti menempatkannya sebagai objeknya untuk menemukan apa yang unik dalamnya dan oleh karenanya tidak dapat diekspresikan. Berpikir intuitif adalah berpikir dengan durasi, yakni waktu yang bergerak dan berkelanjutan.

  1. Filsafat Iqbal.
A.    Jangka waktu asali.
Bagi Iqbal waktu bukanlah merupakan garis memanjang tanpa akhir yang harus kita lalui. Ia tidak berdimensi panjang atau kita tidak dapat mengukurnya dengan ukuran siang dan malam. Karena kita membagi waktu ke dalam periode-periode seperti itu maka masuklah ruang. Akibatnya waktu menjadi sulit untuk kita tundukkan. Kita tak pernah bias lepas dari perbudakan waktu.
Jangka waktu asali adalah sur mutlak dari kehidupan dan pemikiran seseorang, yaitu ketika pikiran, kehendak, dan tujuan saling tembus menembus guna membentuk satu kesatuan organis. Kesatuan ini kata Iqbal, dapat dibayangkan sebagai kesatuan dari “satu diri konkret yang meliputi segala-galanya”. Kita tak akan bias memahami konsep waktu tersebut secara benar melainkan tatkala kita sedang melihat ke dalam diri masing-masing.
B.     Filsafat ketuhanan Iqbal.
Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak dapat ditangkap indera berbanding terbalik dengan materialism. Para filosof barat, berargumen bahwa filsafat ketuhanan itu tak lepas dari argumen kosmologis, telelogis, dan ontologis[3]. Iqbal menolak dengan keras pemikiran tersebut, dengan beranggapan bahwasanyanya argumen-argumen itu sendiri sesungguhnya telah tersirat bahwa pikiran dan wujud pada akhirnya merupakan satu kesatuan.
Iqbal sepakat dengan kant bahwasanya rasio manusia memiliki keterbatasan dalam mengetahui hakikat tuhan. Di sisi lain, Iqbal tetap meyakini bahwasanya bahwa manusia mampu memperoleh pengetahuan tentang tuhan secara langsung melalui proses intuisi dalam pengalaman religius. Konsep intuisi Iqbal berbeda dengan konsep intuisi mistikus. Konsep intuisi Iqbal pertama-pertama tersingkap secara kuat lewat intuisi adalah ego atau diri yang kreatif, bebas dan imortal.
C.    Panenteisme Iqbal
Iqbal beranggapan bahwasanya alam merupakan kesatuan organis dari the ultimate self dan di sisi yang lain ia menempatkan the ultimate self secara transenden.
Posisi Iqbal di sini lebih tepat sebagai panenteistik, yaitu gagasan yang menolak  peleburan dunia dengan yang ilahi, tetapi tidak memisahkannya secara rigoris. Dalam pandangan ini wujud tuhan tidak dipersempit menjadi wujud alam, tapi alam adalah ungkapan empiris yang berada dalam segla hal. Artinya tuhan adalah imanen (penggerak dan pengatur alam ini / jabariyyah) dan transenden.
D.    Tingkat-tingkat pengetahuan.
Iqbal menempatkan pengalaman inderawi sebagai cikal bakal untuk mengetahui / cara tak langsung dalam relasi suatu kebenaran. Menurutnya, alam akan membawa manusia menyadari simbol-simbol sebagai sarana untuk memahami realitas supra indrawi.
E.     Intuisi dan pengalaman religius
Intuisi bertolak belakang dari pengetahuan yang bisa diketahui secara langsung dalam kehidupan sehari-hari yakni pengetahuan intuitif tentang adanya diri. Baginya intuisi diri lebih kuat dan tak dapat diragukan dari pada intuisi tentang realitas ultim (tuhan). Dari intuisi tentang diri itulah, kita baru kemudiian beranjak ke intuisi tentang realitas ultim
Penentuan diri menurut Iqbal adalah puncak pengalaman religius, sebab melalui diri itulah kita mengadakan relsi dengan ultim. Intuisi tentang dirilah yang akan membawa manusia pada intuisi tentang realitas ultim
F.     Filsafat manusia
Telah kita ketahui bahwasanya pandangan tentang manusia itu telah ada yakni pandangan dualisme yang digawangi oleh plato dan descartes serta pandangan monisme yang di gawangi oleh Aristoteles. Dualisme di sini berarti jiwa merupakan substansi yang terpisah dari materi (tubuh) dan akan terus melanjutkan eksistensinya walaupun materi lenyap. Sedangakan monisme adalah jiwa dan materi adalah dua asa metafisik yang tak terpisahkan dari suatu substansi lainnya. Jadi, perbedaan diantara keduanya jika dulisme akan ada berkelanjutan sedang monisme tak ada kelanjutannya (pohon ini, manusia ini).
Menurut Iqbal, pembagian jiwa dan tubuh telah banyak menghasilkan kekeliruan. Manusia menurut Iqbal adalah satu kesatuan hidup dan kesadaran. Memang, jika dilihat dari perspektif luar maka manusia dinamakan tubuh dan jika dilihat sebagai tindakan dinamakan diri. Tapi, manusia adalah satu kesatuan energi, daya, atau kombinasi dari daya-daya yang membentuk beragam susunan.
G.    Kekekalan ego
Iqbal seperti halnya kant menolak kapasitas penalaran untuk samapai pada pengetahuan tentang realistas metafisis seperti halnya ego. Bagi Iqbal, ego yang mengorganisasikan pelbagai kemampuan yang tidak terbatas dalam fitrah manusia memang hal diliputi misteri. Ia tidak dapat di indra, tapi tampak dalam tindakan-tindakan dan menciptakan segala hal yang tampak.
Kekealan ego bukanlah suatu keadaan melalinkan sebuah proses. Penekanan ini dimaksudkan untuk menyeimbangan dua kecenderungan yang berbeda dari bangsa timur dan bangsa barat. Bangsa timur menyebut sebagai bayangan atau ilusi, sementara itu, bangsa-bangsa barat berada dalam proses pencarian sesuai dengan karakteristik berpikir masing-masing. Dalam konteks inilah Iqbal terlebih dulu menyerang pemikiran tentang ego ; panteisme, empirisme, rasionalisme.
Panteisme memandang ego manusia sebagai non-eksistensi, sementara eksistensi sebenaranya adalah ego absolut atau tuhan. Iqbal menolak pernyataan tersebut dengan berpikir aku tidak esksi berlawanan dengan tindakan kognitif yang mengandaikan adanya aku berfikir maka aku ada.
Aliran Empirisme, terutama David Hume memandang konsep ego yang poros pengalaman-pengalaman yang datang silih berganti adalah sekedar penamaan (nominalisme) ketika yang nyata adalah pengalaman yang silih berganti dan bisa dipisahkan secara atomis (melihat kebun, mencium asap rokok)
Iqbal menyangkalkan bahwasnya orang tidak bisa menyangkal adanya pusat yang menyatukan pengalaman-pengalaman yang datang silih berganti. Iqbal juga menolak rasionalisme  cartesian yang masih melihat ego sebagai konsep yang diperoleh melalui penalaran dubulium methodicum: “semuanya bisa rkuragukan kecuali adanya aku yang sedang ragu-ragu karena meragukannya berarti mempertegas keadaannya.**

Note:
*Penulis adalah mahasiswa UIN Jakarta, Jurusan Bahasa Dan Sastra Arab dan aktif di Komunitas Blusukan.
**Sumber : Adian, Donny Gahral, Muhammad Iqbal. (Jakarta: Teraju, 2003)


[1] Strategi menjinakan mitos-mitos.
[2] Elan vital adalah elemen pokok bagi semua makhluk hidup dan merupakan daya kreatif yang bergerak berkelanjutan.
[3] Kosmologis adalah tuhan harus ada, kalau tidak ada maka akan terjadi kausalitas yang tak terhingga ntuk menjelaskan peristiwa-peristiwa. Telelogis adalah struktur dari finalitas realitas dapat ditarik kesimpulan adanya sang pencipta menetapkan struktur tersebut. Ontologis adalah tuhan ada karena kita memikirkan dan memprediksi eksistensi terhadap Dirinya.

0 komentar :

Posting Komentar