Oleh : Septa Nuril Fahmi*
I. I.
Latar belakang lahirnya filsafat metafisika
Setelah ribuan tahun berjaya, metafisika
mendapatkan tantangan keras dari para filosof modern. Para filosof modern yang
dibesarkan dalam atmosfer ilmu alam, seperti David Hume, francis bacon, rene
descartes, dan immanuel kant merasa gerah terhadap fokus filsafat barat yang
sangat spekulatif-kontemplatif mencari-cari hakikat realitas sehingga tak
menyumbang apa-apa bagi kepentingan umat manusia.
Pada dasarnya mereka sepakat bahwa
spekulasi terhadap realitas ultim harus dihentikan dan sebagai gantinya adalah
pendekatan yang empiris terhadap realitas yang semata mencari hukum-hukum alam
yang tetap dan universal.
Kumandang kematian metafisika inilah
yang kemudian membawa peradaban barat pada pandangan dunia materialisme-mekanis
yang memang menghasilkan kemajuan sains dan teknologi yang cukup pesat.
Kemajuan yang disinyalir Rosseau, tidak menjamin kemajuan kemajuan
kesejahteraan manusia dan malah justru menjauhkan manusia dari kondisi
alamiahnya. Seperti halnya, kemajuan teknologi telah menempatkan manusia
sebagai objek dan bukan subjek pekerjaannya, kapitalisme yang menundukkan
manusia dalam mekanisme pasar, dan lain sebagainya.
Pandangan dunia materialisme terhadap
kehidupan kemudian disadari memiliki banyak kelemahan. Seperti yang dikemukakan
Berger dalam bukunya Toward A Critique Of Modernity,
diantaranya:
1.
Abstraksi
2.
Futurisasi
3.
Individuasi
4.
Deliberasi
5.
sekularisasi
Ditengah pertarungan antara filosof yang
menganut materialisme dan yang menentangnya, telah mengantarkan dunia islam melahirkan
seorang filosof-penyair yakni Muhammad Iqbal (1873-1938).
II. II.
Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal berbeda dengan kalangan
intelektual islam lainnya yang menanggapi pemikiran barat dengan fundamentalisme
anti-barat penuh dengan sumpah serapah emosional. Muhammad Iqbal selalu
inklusif yang menanggapi pemikiran barat secara argumentatif dan selain itu ia
juga melakukan apropriasi[1]
terhadap teks-teks pemikiran barat yang kemudian menghasilkan pergeseran keyakinan
dari panteisme yang menolak ego ke eksistensialisme yang menekankan kehendak
kreatif.
Muhammad Iqbal lahir di sialkot, panjab (India)
22 februari 1873 dan mendapatkan pendidikan pertama kali dari ulama besar
bernama Mir Hassan. Kemudian Iqbal belajar kepada Sir Thomas Arnold yang
memperkenalkannya dengan khazanah filsafat barat. Berkat dorongannya pula Iqbal
berangkat ke inggris untuk mempelajari filsafat barat dengan lebih di
universitas cambridge di bawah bimbingan filosof neo-hegelian Dr. Mc. Taggart.
Dari inggris Iqbal menuju jerman dan mengambil doktor filsafat di universitas
munich dengan desertasi berjudul: the development of metaphysics in persia.
Berkat ketekunannya di bidang filsafat,
anak dari pasangan syaikh nur muhammad dan imam bibi pun muncul sebagai sosok
filosof yang disegani baik di kalangan barat maupun islam sendiri
Selain seorang yang ahli di bidang
filsafat, Iqbal adalah seorang penyair. Di usianya yang menginjak 22
tahun,reputasi kepenyairan Iqbal sudah menjadi sorotan publik. Pada pertemuan
tahunan Anjuman I Himayat I Islam, Iqbal mencatat sukses berkat
lantunan puisinya berjudul Naala Yatim pada tahun 1900.
III. III.
Filosof-filosof yang mempengaruhi pemikiran Iqbal
Untuk lebih memahami pemikiran Iqbal,
ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu pemikiran-pemikiran barat yang
mempengaruhi Iqbal. Diantara yang mempengaruhi Iqbal adalah thomas aquinas,
bergson, Nietszche, hegel, white head berkeley, dan lain-lain.
Namun, dari sekian banyak filosof yang
mempengaruhinya, Nietszche dan bergsonlah yang paling banyak mempengaruhi Iqbal.
a.
Friedrich Nietszche
Filsafat Nietszche
adalah kehendak untuk penguasaan. Konsep ini berkaitan erat dengan lebenphi-losophie
tentang hidup. Tradisi lebenphi-losophie memandang hidup
bukan sebagai proses biologis, melainkan sebagai suatu yang mengalir, meretas,
dan tidak tunduk pada apapun yang mematikan gerak hidup.
Sebagaimana kalangan
terpelajar lainnya waktu itu, Iqbal terpengaruh pula oleh gagasannya tentang
kehendak untuk penguasaan dalam bukunya Der Wille Zur Macht. Iqbal melegitimasi
pandangannya itu dengan menyebut ali al hujwiri dan abu ‘ala al ma’ari, para
sufi yang menekankan aspek sifat kekuatan ilahi {qahr} sebagai kebaikan.
Hal ini tampak jelas
dalam catatan refleksinya 1910, tulisannya, “kekuatan itu lebih ilahiah
dibandingkan kebenaran. Tuhan adalah kekuatan. Maka jadilah engkau sepertim
bapamu di surga”.
b.
Henry Bergson (1859-1941)
Dialah tokoh
yang bias di bilang paling berpengaruh terhadap pemikiran Iqbal, khususnya soal
intuisi dan elan vital[2]. Bergson mengemukakan
adanya dua cara pengenalan yaitu analisis dan intuisi. Analisis adalah
aktivitas intelektual yang mengenali objek dengan observasi bergerak mengitari
objek atau dengan memisahkan konstituen objek kajiannya. Kelemahan dari
analisis adalah kita memposisikan objek sebagai benda mati. Seperti menganalisis
bunga dilakukan dengan memilah-milahnya (kelopak, putik sari, tangkai dsb.) dan
dengan itu kita tidak melihat bunga sebagai benda hidup yang ada di taman.
Intuisi, menurut Bergson
adalah semacam rasio simpati yang mana subjek peneliti menempatkannya sebagai
objeknya untuk menemukan apa yang unik dalamnya dan oleh karenanya tidak dapat
diekspresikan. Berpikir
intuitif adalah berpikir dengan durasi, yakni waktu yang bergerak dan
berkelanjutan.
- Filsafat Iqbal.
A.
Jangka waktu asali.
Bagi Iqbal waktu bukanlah
merupakan garis memanjang tanpa akhir yang harus kita lalui. Ia tidak
berdimensi panjang atau kita tidak dapat mengukurnya dengan ukuran siang dan
malam. Karena kita membagi waktu ke dalam periode-periode seperti itu maka
masuklah ruang. Akibatnya waktu menjadi sulit untuk kita tundukkan. Kita tak
pernah bias lepas dari perbudakan waktu.
Jangka waktu
asali adalah sur mutlak dari kehidupan dan pemikiran seseorang, yaitu ketika
pikiran, kehendak, dan tujuan saling tembus menembus guna membentuk satu
kesatuan organis. Kesatuan ini kata Iqbal, dapat dibayangkan sebagai kesatuan
dari “satu diri konkret yang meliputi segala-galanya”. Kita tak akan bias memahami
konsep waktu tersebut secara benar melainkan tatkala kita sedang melihat ke
dalam diri masing-masing.
B.
Filsafat ketuhanan Iqbal.
Tuhan adalah
suatu yang mutlak tidak dapat ditangkap indera berbanding terbalik dengan materialism. Para filosof barat, berargumen bahwa
filsafat ketuhanan itu tak lepas dari argumen kosmologis, telelogis, dan
ontologis[3].
Iqbal menolak dengan keras pemikiran tersebut, dengan beranggapan bahwasanyanya
argumen-argumen itu sendiri sesungguhnya telah tersirat bahwa pikiran dan wujud
pada akhirnya merupakan satu kesatuan.
Iqbal sepakat dengan
kant bahwasanya rasio manusia memiliki keterbatasan dalam mengetahui hakikat
tuhan. Di sisi lain, Iqbal tetap meyakini bahwasanya bahwa manusia mampu
memperoleh pengetahuan tentang tuhan secara langsung melalui proses intuisi
dalam pengalaman religius. Konsep intuisi Iqbal berbeda dengan konsep intuisi
mistikus. Konsep intuisi Iqbal pertama-pertama tersingkap secara kuat lewat
intuisi adalah ego atau diri yang kreatif, bebas dan imortal.
C.
Panenteisme Iqbal
Iqbal beranggapan
bahwasanya alam merupakan kesatuan organis dari the ultimate self dan di sisi
yang lain ia menempatkan the ultimate self secara transenden.
Posisi Iqbal di sini
lebih tepat sebagai panenteistik, yaitu gagasan yang menolak peleburan dunia dengan yang ilahi, tetapi
tidak memisahkannya secara rigoris. Dalam pandangan ini wujud tuhan tidak
dipersempit menjadi wujud alam, tapi alam adalah ungkapan empiris yang berada
dalam segla hal. Artinya tuhan adalah imanen (penggerak dan pengatur alam ini /
jabariyyah) dan transenden.
D.
Tingkat-tingkat pengetahuan.
Iqbal menempatkan
pengalaman inderawi sebagai cikal bakal untuk mengetahui / cara tak langsung
dalam relasi suatu kebenaran. Menurutnya, alam akan membawa manusia menyadari
simbol-simbol sebagai sarana untuk memahami realitas supra indrawi.
E.
Intuisi dan pengalaman religius
Intuisi bertolak belakang dari pengetahuan yang bisa
diketahui secara langsung dalam kehidupan sehari-hari yakni pengetahuan
intuitif tentang adanya diri. Baginya intuisi diri lebih kuat dan tak dapat diragukan
dari pada intuisi tentang realitas ultim (tuhan). Dari intuisi tentang diri
itulah, kita baru kemudiian beranjak ke intuisi tentang realitas ultim
Penentuan diri menurut Iqbal adalah puncak
pengalaman religius, sebab melalui diri itulah kita mengadakan relsi dengan
ultim. Intuisi tentang dirilah yang akan membawa manusia pada intuisi tentang
realitas ultim
F.
Filsafat manusia
Telah kita ketahui
bahwasanya pandangan tentang manusia itu telah ada yakni pandangan dualisme
yang digawangi oleh plato dan descartes serta pandangan monisme yang di gawangi
oleh Aristoteles. Dualisme di sini berarti jiwa merupakan substansi yang
terpisah dari materi (tubuh) dan akan terus melanjutkan eksistensinya walaupun
materi lenyap. Sedangakan monisme adalah jiwa dan materi adalah dua asa
metafisik yang tak terpisahkan dari suatu substansi lainnya. Jadi, perbedaan
diantara keduanya jika dulisme akan ada berkelanjutan sedang monisme tak ada
kelanjutannya (pohon ini, manusia ini).
Menurut Iqbal,
pembagian jiwa dan tubuh telah banyak menghasilkan kekeliruan. Manusia menurut Iqbal
adalah satu kesatuan hidup dan kesadaran. Memang, jika dilihat dari perspektif
luar maka manusia dinamakan tubuh dan jika dilihat sebagai tindakan dinamakan
diri. Tapi, manusia adalah satu kesatuan energi, daya, atau kombinasi dari
daya-daya yang membentuk beragam susunan.
G.
Kekekalan ego
Iqbal seperti halnya
kant menolak kapasitas penalaran untuk samapai pada pengetahuan tentang
realistas metafisis seperti halnya ego. Bagi Iqbal, ego yang mengorganisasikan
pelbagai kemampuan yang tidak terbatas dalam fitrah manusia memang hal diliputi
misteri. Ia tidak dapat di indra, tapi tampak dalam tindakan-tindakan dan
menciptakan segala hal yang tampak.
Kekealan ego bukanlah
suatu keadaan melalinkan sebuah proses. Penekanan ini dimaksudkan untuk menyeimbangan
dua kecenderungan yang berbeda dari bangsa timur dan bangsa barat. Bangsa timur
menyebut sebagai bayangan atau ilusi, sementara itu, bangsa-bangsa barat berada
dalam proses pencarian sesuai dengan karakteristik berpikir masing-masing. Dalam
konteks inilah Iqbal terlebih dulu menyerang pemikiran tentang ego ; panteisme,
empirisme, rasionalisme.
Panteisme memandang ego
manusia sebagai non-eksistensi, sementara eksistensi sebenaranya adalah ego
absolut atau tuhan. Iqbal menolak pernyataan tersebut dengan berpikir aku tidak
esksi berlawanan dengan tindakan kognitif yang mengandaikan adanya aku berfikir
maka aku ada.
Aliran Empirisme,
terutama David Hume memandang konsep ego yang poros pengalaman-pengalaman yang
datang silih berganti adalah sekedar penamaan (nominalisme) ketika yang nyata
adalah pengalaman yang silih berganti dan bisa dipisahkan secara atomis
(melihat kebun, mencium asap rokok)
Iqbal menyangkalkan
bahwasnya orang tidak bisa menyangkal adanya pusat yang menyatukan
pengalaman-pengalaman yang datang silih berganti. Iqbal juga menolak
rasionalisme cartesian yang masih melihat
ego sebagai konsep yang diperoleh melalui penalaran dubulium methodicum: “semuanya
bisa rkuragukan kecuali adanya aku yang sedang ragu-ragu karena meragukannya
berarti mempertegas keadaannya.**
Note:
*Penulis adalah mahasiswa UIN Jakarta, Jurusan
Bahasa Dan Sastra Arab dan aktif di Komunitas Blusukan.
**Sumber : Adian, Donny Gahral, Muhammad Iqbal.
(Jakarta: Teraju, 2003)
[1] Strategi menjinakan mitos-mitos.
[2] Elan vital adalah elemen
pokok bagi semua makhluk hidup dan merupakan daya kreatif yang bergerak
berkelanjutan.
[3] Kosmologis adalah tuhan harus ada, kalau tidak ada maka akan terjadi
kausalitas yang tak terhingga ntuk menjelaskan peristiwa-peristiwa. Telelogis adalah
struktur dari finalitas realitas dapat ditarik kesimpulan adanya sang pencipta
menetapkan struktur tersebut. Ontologis adalah tuhan ada karena kita memikirkan
dan memprediksi eksistensi terhadap Dirinya.
0 komentar :
Posting Komentar